Kekhawatiran Publik soal Implikasi Hak Cuti Hamil 6 Bulan

Pexels.com/Leah Kelley
Ilustrasi hamil
21/6/2022, 19.11 WIB

Dewan Perwakilan rakyat (DPR) pada rapat paripurna pekan lalu, telah sepakat mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) untuk menjadi undang-undang. Salah satu poin dalam naskah tersebut mengatur tentang penambahan hak cuti, bagi perempuan pekerja untuk masa hamil dan melahirkan.

Dalam RUU KIA, DPR mengusulkan agar durasi cuti hamil dan melahirkan diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan.

Menanggapi draf RUU ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, melihat hak maternitas merupakan hak asasi manusia yang melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan lembaganya menyambut baik RUU KIA, karena memiliki kaitan erat dengan upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

"Penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan prasyarat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender," jelasnya, Selasa (21/6).

Hal ini juga tertuang dalam lima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 tentang pemberdayaan perempuan.

Komnas Perempuan pun mengapresiasi usulan cuti hamil dan melahirkan selama 6 bulan, sebagai bagian dari upaya menguatkan hak maternitas perempuan. Dari cuti tersebut, 3 bulan pertama dengan upah dibayarkan 100%, dan 3 bulan berikutnya 75%.

Tak hanya kepada perempuan, RUU KIA juga mengatur hak pendampingan bagi suami selama 40 hari untuk kelahiran, dan 7 hari untuk kasus keguguran. "Sejumlah negara atau organisasi masyarakat sipil juga sudah menetapkan hal serupa," ujarnya.

Akan tetapi, dia juga mendesak apabila nanti disahkan, aturan tersebut dapat berpotensi menghambat hak bekerja perempuan. Untuk itu, negara mesti mengantisipasi dan memastikan perusahaan tunduk pada aturan, dan menjamin tidak membatasi kesempatan kerja atau pengembangan karir.

Tak hanya itu, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi peraturan, karena pengaturan tentang hak maternitas perempuan pekerja saat ini juga merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pada pasal 81 dan pasal 93 ayat (2) huruf b tentang istirahat saat menstruasi, dan Pasal 82, 84 dan 153 terkait cuti melahirkan dan keguguran, juga pasal 93 ayat (2) huruf b dan ayat (4) huruf e bagi cuti pendampingan suami dari istri yang melahirkan atau keguguran.

"Pada UU ini, hak cuti melahirkan adalah selama 3 bulan dan 1,5 bulan untuk keguguran, yang keduanya berupah penuh dan tidak boleh menjadi alasan pemutusan hubungan kerja. Sementara bagi suami, cuti pendampingan adalah sebanyak 2 hari berupah penuh," jelasnya.

Sementara itu, RUU KIA ini menjadi salah satu topik yang menjadi perbincangan di publik. Di media sosial Twitter, banyak netizen yang mengekspresikan pendapatnya sehingga menimbulkan pro dan kontra. Umumnya publik melihat aturan ini akan memenuhi hak perempuan agar dapat memberikan perhatian khusus kepada bayi. Tetapi, beberapa juga mengungkapkan kegelisahannya, dan khawatir aturan ini akan berdampak negatif kepada perempuan.

Salah satunya adalah pengguna dengan akun @Ennoharie, menurutnya aturan ini akan mendorong perusahaan untuk menolak pekerja perempuan.

"Katanya mau dibuat UU soal cuti hamil jadi 6 bulan ya. Makin aja perusahaan enggak mau memperkerjakan mereka yang sudah nikah," cuitnya.

Netizen lainnya dengan akun @WidasSatyo juga mengungkapkan kekhawatiran serupa. Menurutnya, "Implikasinya, ruang berkarir untuk perempuan jadi terbatas. Yang bikin aturan harus benar-benar memikirkan dampaknya secara luas."

Reporter: Aryo Widhy Wicaksono