Diinisiasi DPR, Ini Poin-poin Sorotan di RUU KIA Selain Cuti Hamil

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Ilustrasi ibu dan anak
30/6/2022, 15.24 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat resmi menerima usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) dalam Rapat Paripurna pada Kamis (30/6). Ketua DPR, Puan Maharani, menyampaikan akan menerima masukkan dari berbagai elemen masyarakat untuk membahas pasal-pasal di dalam RUU KIA.

“Hari ini baru masuk sebagai RUU inisiatif DPR. Kemudian kami akan membuka ruang untuk elemen masyarakat, mulai dari pengusaha hingga pekerja non-formal,” ujar Puan usai Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/6).

Puan juga menjelaskan, melalui RUU ini, DPR ingin memastikan hak setiap ibu dan anak dapat terpenuhi. Termasuk hak pelayanan kesehatan, hak mendapatkan fasilitas khusus dan sarana prasarana di fasilitas umum, hingga kepastian bagi ibu tetap dipekerjakan usai melahirkan.

Berikut beberapa pasal yang menjadi perhatian publik dalam RUU KIA:

1. Cuti Hamil dan Melahirkan Enam Bulan

Dalam draft RUU KIA, salah satu poin yang menjadi sorotan bagi publik adalah aturan mengenai hak cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja. Cuti ini mendapatkan tambahan durasi, dari tiga menjadi enam bulan. Selama cuti, pada tiga bulan pertama perusahaan wajib membayar penuh gaji mereka. Selanjutnya mulai bulan keempat, mereka mendapatkan upah 75% dari total gajinya.

Selain soal cuti melahirkan kepada ibu pekerja, RUU KIA juga memberikan hak cuti untuk ayah maksimal sampai 40 hari. Cuti tersebut diharapkan dapat membuat para ayah membantu ibu dalam merawat anaknya yang baru lahir.

Kemudian untuk perempuan yang mengalami keguguran, RUU KIA juga mengatur cuti selama 1,5 bulan atau mengikuti surat keterangan dokter. Untuk suami, cuti tersebut maksimal selama tujuh hari.

2. Ibu Wajib Berikan ASI Enam Bulan

Selain mengenai ketentuan cuti, RUU KIA pada Pasal 10 juga mewajibkan perempuan untuk mengupayakan pemberian air susu ibu (ASI) selama enam bulan setelah melahirkan. Pengecualian berlaku, jika memiliki indikasi medis, meninggal dunia, atau ibu terpisah dari anak.

Masih pada pasal yang sama, RUU KIA mewajibkan perempuan memeriksakan kesehatan kehamilan secara berkala; mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak dengan penuh kasih sayang; serta memberikan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya pada ayat (3), jika ibu meninggal dunia, terpisah dari anak, atau secara medis tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, maka tanggung jawab itu akan berada kepada ayah. Ayat (4) menjelaskan, jika ayah tidak dapat melaksanakan kewajiban tersebut, maka tugas itu menjadi kepada keluarga. 

3. Kemudahan Akses di Fasilitas Kesehatan

Pada Pasal 20 ayat (1), RUU KIA mewajibkan penyedia fasilitas pelayanan kesehatan harus memberikan kemudahan akses, termasuk layanan kesehatan terbaik bagi Ibu dan Anak.

Pada ayat (2) menjelaskan kemudahan akses itu dapat berupa:

  1. pemberian layanan informasi dan edukasi kesehatan;
  2. pemberian layanan administrasi kesehatan;
  3. prioritas pemeriksaan kesehatan;
  4. pemberian tindakan dan pengobatan; dan/atau
  5. penyediaan sarana dan prasarana kesehatan khusus yang layak bagi Ibu dan Anak.  

Pada Pasal 21, RUU KIA mengancam pemberi fasilitas kesehatan yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada Pasal 20 diberikan pembinaan dan/atau sanksi administratif.

4. Ruang Laktasi, Perawatan, dan Bermain Anak di Kantor serta Fasilitas Umum 

Pasal 22 ayat (1) kemudian memerintahkan penyedia atau pengelola fasilitas, sarana, dan prasarana umum untuk memberikan kemudahan kepada ibu dan anak untuk menggunakan fasilitas, sarana, dan prasarana umum. Pada ayat (2) menjelaskan sarana umum tersebut adalah tempat kerja, tempat umum, dan transportasi publik.

Ayat (3) kemudian merinci dukungan fasilitas itu dapat berupa penyediaan ruang laktasi, perawatan anak, penitipan anak, tempat bermain anak, atau tempat duduk prioritas atau loket khusus.

Khusus dukungan fasilitas di tempat kerja, pada ayat (4) mengatur bentuknya berupa penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja.

Jika pengelola tempat kerja, fasilitas umum, dan transportasi publik gagal melaksanakan ketentuan tersebut, Pasal 23 mengatur mengenai pemberian pembinaan dan/atau sanksi administratif.

5. Bantuan dan Santunan bagi Ibu dan Anak Kurang Mampu

Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan dan santunan kepada ibu dan anak yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Ayat (2) mengatur bantuan dan santunan tersebut diberikan dalam bentuk:

  1. pemberian makanan sehat dan gizi seimbang;
  2. pemberian bahan pokok penunjang;
  3. pemberian makanan pendamping air susu ibu dan makanan tambahan;
  4. layanan kesehatan dan pengobatan gratis; dan/atau
  5. pemberian perlengkapan anak.

Menanggapi RUU KIA ini, sebelumnya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga telah memberikan pandangannya. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengkhawatirkan pengaturan cuti selama enam bulan berpotensi menghambat hak perempuan untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh sebab itu, dia berharap agar pemangku kebijakan memastikan bahwa pihak korporasi tunduk terhadap aturan, termasuk untuk tidak melakukan pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen.

“Perlu dilengkapi dengan langkah afirmasi tambahan untuk memastikan pengambilan cuti ini tidak akan mempengaruhi kesempatan pengembangan karir,” kata Yentri dalam rilis Komnas Perempuan pada Selasa (21/6).

Ketika di Indonesia menjadi kontroversi, cuti hamil panjang bukan sesuatu yang asing di negara-negara Eropa. Mengutip data World Population Review, cuti hamil maksimal dapat ditemukan di Finlandia. Di sini, para ibu bisa mengambil cuti hamil hingga 143,5 minggu atau sekitar 2 tahun 9 bulan. Selanjutnya, cuti hamil di Hungaria dapat mencapai 136 bulan.

Reporter: Ashri Fadilla