Jakarta - Fenomena bubble burst atau pecahnya gelembung perusahaan rintisan (startup) belakangan seperti hantu yang menakutkan di dunia startup atau perusahaan rintisan. Bubble burst merupakan sebuah fenomena pertumbuhan ekonomi atau nilai pasar naik sangat cepat, khususnya harga aset namun diikuti oleh penurunan nilai yang cepat atau kontraksi. Pada umumnya gelembung yang disebabkan lonjakan harga aset didorong oleh perilaku pasar yang tinggi. Fenomena ini membuat sejumalh perusahaan rintisan di Indonesia berhenti operasi dan mem-PHK karyawan.
Managing Partner Impactto.io, Italo Gani mengatakan, bubble burst pada startup saat ini berbeda dengan tahun 2000. Startup di Indonesia saat ini merupakan startup yang memberi dampak pada ekonomi. Startup ini berkembang melalui sebuah proses eksperimen.
"Saya selalu bilang startup, founding di awal-awal itu metafornya kaya sebuah perusahaan melakukan R & D. Butuh investasi agar startup mencapai inovasi baru," kata Italo dalam webinar bertema "Fenomena Bubble Burst: Jalan Terjadi Startup Indonesia", Jumat (19 Agustus 2022).
Menurut Italo, keberadaan startup membuat efisiensi baru dalam ekosistem sehingga tercipta produk-produk nasional.
"Produk nasional kita ada Tokopedia, Gojek, Ruang Guru, Sociolla, dan Halodoc. Saya pikir ini saat yang tepat sekali untuk kita bisa membangun produk nasional," ujarnya.
Managing Partner of East Ventures, Roderick Purwana menambahkan, perjalanan terjal startup tidak hanya terjadi saat ini. Startup yang identik dengan melawan arus, telah mengalami perjalanan terjal dalam setiap waktu.
"Kalau kita lihat kenapa sekarang ini orang-orang bilang winter is coming mungkin banyak pararel dengan kejadian di dunia. Adanya geopolitical tention, supply chain desruption, dan recovery from pandemi," ungkapnya.
Ia mengatakan, dalam dua atau tiga tahun terakhir, digital terbantu karena akselerasi. Ketika terjadi kondisi normal dan tantangan global, yang pertama terkena imbas adalah perusahaan teknologi publik terutama di negara-negara maju, seperti Amerika. Hal ini merambat ke teknologi swasta yang mengubah ekspekstasi.
"Kalau dampak langsung ke dunia startup Indonesia masih belum sepenuhnya terasa. Karena startup Indonesia mungkin masih fundamentalnya lebih kuat, masih lebih awal, dampaknya lebih ke penilaian ekspektasi. Cuma untuk dampak sejauh yang dirasakan di negara-negara lain, belum ya, atau enggak barangkali," jelasnya.
CEO Katadata Indonesia Metta Dharmasaputra mengatakan, fenomena bubble burst yang menimpa perusahaan rintisan di Indonesia saat ini adalah bagian dari revolusi industri keempat.
Menurut Metta, transformasi digital justru terjadi ketika Covid-19 melanda dunia. Berdasarkan data dari Google Temasek, selama 2015-2019 populasi yang terhubung internet bertambah 100 juta. Sedangkan selama dua tahun pandemic bertambah 80 juta.
Kata Metta, pengguna internet akan bertambah terus. 9 dari 10 new digital consumer akan berlanjut dan yang menarik outlook ke depan wilayah Asia Tenggara akan masuki tahap decade digital. Nilai internet ekonomi pada 2021 mencapai 170 miliar dollar AS dan bertambah menjadi 360 miliar dollar AS pada empat tahun kemudian serta jadi 1 triliun dollar AS pada 2030.
“Lalu di mana posisi Indonesia, Indonesia diperkirakan akan jadi pemain digital terbesar di Asia Tenggara angkanya pada 2020 berjumlah 47 miliar dollar AS, pada 2021 menjadi 70 miliar dolar AS dan diperkirakan pada 2025 menjadi 146 miliar dolar AS. Angka-angka ini membawa titik optimisme baru bahawa digital ekonomi akan terus mewarnai perekonomian Indonesia dan bubble burst bukan fenomena hantu yang menakutkan,” jelas Metta.
Sementara Koordinator Startup Digital Kemenkominfo, Sonny Sudaryana mengatakan, mesin transformasi digital Indonesia adalah startup. Pasalnya, banyak hal mengubah kehidupan didorong inovasi yang dilakukan startup.
"Kominfo membuat transformasi digital semacam roadmap dengan 4 pilar utama, yaitu pemerintah digital, ekonomi digital, dan masyarakat digital di mana infrastruktur digital sebagai pondasi dasarnya," kata dia.