Ada yang istimewa ketika kita menggunakan mesin pencarian Google pada Rabu (14/9). Hal istimewa yang dimaksud ini, adalah karena Google menamplkan doodle atau gambar sosok Rasuna Said.
Google menampilkan doodle sosok perempuan tersebut untuk memperingati hari kelahirannya ke- 112. Google doodle Rasuna Said ditampilkan dengan menggunakan kerudung di depan sebuah microphone.
Sebagai informasi, Rasuna Said merupakan pejuang kemerdekaan Negara Indonesia sekaligus tokoh yang mendukung emansipasi perempuan. Dilasir dari laman Google Doodle, perempuan bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said ini, adalah sosok yang vokal menyuarakan isu-isu sosial, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, serta masalah pendidikan, pasa masa penjajahan Belanda.
Gagasan-gagasan yang kerap ia sampaikan melalui pidatonya yang tajam, membuatnya diburu oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda bahkan tidak ragu-ragu menjebloskannya ke dalam penjara pada kala itu.
Profil HR Rasuna Said
Perempuan yang kerap disebut HR Rasuna Said ini, lahir pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Ia lahir dari keluarga yang terpandang, di mana ayahnya adalah Haji Muhammad Said, seorang tokoh pergerakan di Sumatera Barat, yang juga seorang pengusaha sukses.
Sebagai putri dari keturunan bangsawan, Rasuna Said memiliki kesempatan yang cukup spesial pada saat itu, yakni dapat mengenyam pendidikan. Mulanya Rasuna Said memulai pendidikan dasar di sekolah Belanda.
Namun, Rasuna Said memilih pindah ke sekolah agama di desa yang tidak jauh dari rumahnya hingga 1921. Kemudian Rasuna Said melanjutkan pendidikan ke Pesantren Ar-Rasyidiyah. Rasuna menjadi satu-satunya santri perempuan di sekolah tersebut.
Dua tahun berselang, Rasuna masuk Sekolah Diniyah Putri di sebuah pondok pesantren modern khusus putri di Padang Panjang. Sekolah itu didirikan oleh Rahmah El Yunusiah. Saat itu Rasuna jauh lebih populer dibandingkan Rahmah.
Ia digandrungi oleh banyak pelajar Diniyah Putri karena kepintarannya. Namun, karena perbedaan gagasan, Rasuna menarik diri dari pesantren tersebut pada 1930. Rasuna berpandangan bahwa kemajuan perempuan tidak hanya didapat dari mendirikan sekolah, tetapi juga disertai perjuangan politik.
Selepas dari sekolah Diniyah Putri, Rasuna belajar secara pribadi ke tokoh-tokoh intelektual Minangkabau. Salah satunya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau Haji Rasul, seorang pendiri Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Sekolah tersebut merupakan sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Dari Haji Rasul, Rasuna Said banyak belajar tentang perjuangan dan perlawanan. Pemikirannya pun semakin terbuka. Perjalanan politik dan perjuangan Rasuna Said dimulai pada 1926. Saat itu, Rasuna berkecimpung di organisasi Sarekat Rakyat (SR) sebagai sekretaris cabang Maninjau.
Lalu pada 1930, Rasuna Said juga bergabung dalam Soematra Thawalib dan turut mendirikan Persatuan Muslimin (Permi) di Bukittingi. Rasuna Said dikenal dengan kemampuan dalam berpidato dan berdebat, sehingga ia ditunjuk untuk memberikan kursus bagi anggota Permi.
Rosihan Anwar dalam buku "Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia" menuliskan, bahwa Rasuna dijuluki sebagai 'Singa Minangkabau' karena kepiawaiannya berpidato. Isi pidatonya disebut tajam, sehingga membuat Belanda khawatir akan ketentraman umum di Sumatera Barat, tanah kelahiran Rasuna Said.
Pada 1935, Rasuna Said menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, yakni Raya. Mulai saat itu, ia juga dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Majalah Raya sempat dilarang beredar oleh Belanda, bahkan menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat.
Selain berpolitik, Rasuna juga berkecimpung di dunia pendidikan, terutama pendirian sekolah. Dia disebut aktif mendirikan Sekolah Thawalib kelas rendah, Sekolah Thawalib Putri, kursus pemberantasan buta huruf, dan kursus putri di Bukittingi.
Pada 1937, Rasuna Said juga mendirikan lembaga pendidikan khusus perempuan bernama Perguruan Putri di Medan, Sumatera Utara. Keberaniannya dan pemikirannya yang progresif, membuat Rasuna Said pernah dijatuhi hukum "speek delict" oleh kolonial Belanda.
Ia menjadi perempuan pertama yang dikenai hukuman tersebut karena berbicara menentang Belanda. Tahun 1932 Rasuna Said alhirnya ditangkap Belanda bersama teman seperjuangannya, Rasimah Ismail. Ia sempat dipenjara di Semarang, Jawa Tengah. Setelah bebas, Rasuna sempat meneruskan pendidikannya di Islamic College.
Perjuangan Rasuna berlanjut di era pasca-kemerdekaan Indonesia, di mana ia banyak terlibat dalam berbagai organisasi, seperti Panitia Pembentukan Dewan Perwakilan Nagari yang pada 1946 yang kemudian melahirkan Dewan Perwakilan Sumatera. Rasuna Said juga bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Barat (KNID-SB).
Pada 1949, Rasuna Said menduduki kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Serikat (RIS). Pasca-pembubaran RIS, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Tidak sampai di situ, Rasuna Said juga tampil menjadi orang penting di era Pemerintahan Presiden Seokarno. Karier politik Rasuna kian moncer ketika Bapak Proklamator Indonesia menunjuknya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Singkatnya, Rasuna dipercaya menjadi penasihat pemerintah melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Rasuna Said menjadi anggota DPA sampai akhir hidupnya.
Rasuna Said meninggal dunia pada Selasa, 2 November 1965 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Atas jasanya, Presiden Soeharto menerbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 084/TK/Tahun 1974 dan menobatkan Rasuna sebagai Pahlawan Nasional pada 13 Desember 1974.