Kualitas pembelajaran selama pandemi Covid-19 menurun karena terjadinya keterbatasan interaksi antara guru dan murid. Di momen itu penyelenggaraan kelas dilakukan secara daring, sehinga intensitas penyampaian materi esensial berkurang.
Dalam acara Temu Inovasi ke-14 yang mengusung tema "Transformasi Pembelajaran: Sampai Di mana Perjalanan Kita", sejumlah pembicara membagikan pengetahuan dan pengalaman untuk mendorong transformasi pembelajaran di sekolah setelah dua tahun dilanda pandemi.
Oleh sebab itu, Kementerian Riset, Pendidikan, Budaya dan Riset Perguruan Tinggi (Kemendikbud-ristek) mencetuskan Kurikulum Merdeka sebagai opsi pemulihan pembelajaran. Program ini diperuntukan untuk umum dan secara berkelanjutan, supaya semua anak Indonesia dapat merasakan kesempatan belajar yang sama.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo mengatakan Kurikulum Merdeka akan berfokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi. Kurikulum Merdeka juga dirancang guna meningkatkan pelayanan kualitas pendidikan bagi peserta didik.
"Kurikulum merdeka akan mampu diterapkan di sekolah seminim apapun. Sepanjang ada anak yang mau belajar dan orang dewasa yang mendampingi," ujar Anindito.
Selanjutnya, Anindito mengungkapkan bahwa semua anak di Indonesia harus mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Ini merupakan esensi dari transformasi pendidikan dan program merdeka belajar.
”Kesempatan belajar spesifiknya adalah membangun kapasitas dasar dan berbagai keterampilan dasar yang memampukan mereka menjadi manusia mandiri di masa depan.” Ujarnya.
Pada acara tersebut, Direktur program Inovasi Mark Heyward memaparkan hasil studi yang dilakukan lembaganya bersama Kemendikbud-Ristek. Studi tersebut menyajikan potret permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia, khususnya terkait learning loss dan learning gap.
Menurut Mark, terdapat 18 ribu anak yang dites, guna melihat hasil pembelajaran terkait keterampilan dasar literasi dan numerasi, baik dari tingkat SD maupun MI, dan dari swasta atau madrasah.
Indikator studi juga menggunakan standar internasional tingkat kompetensi minimal berdasarkan global proficiency framework yang ditentukan oleh beberapa negara melalui UNESCO.
”Jadi ada 20 kabupaten kota yang ikut dalam studi ini, termasuk sekolah di wilayah kerja inovasi, tetapi juga ada yang tidak tersentuh program inovasi.” ujar Mark.
Mengenai data studi, Mark mengungkapkan pihaknya mengumpulkan data di 2021, dan data di sekolah yang telah tutup kurang lebih satu tahun karena Covid-19. Selain itu, pihaknya juga menggunakan sampel yang lebih kecil, yakni 160 sekolah, di mana hal itu mencakup data sebelum, selama dan sesudah kondisi pembatasan akibat Covid-19.
Hasil riset menunjukkan bahwa lebih banyak anak laki-laki tidak mencapai harapan dibandingkan perempuan. Studi juga menemukan bahwa anak di pedesaan lebih banyak yang tertinggal jika dibandingkan dengan anak di kota.
”87 persen perempuan penyandang disabilitas di kawasan pedesaan juga tidak mampu mencapai indikator studi,” ujarnya.
Lebih lanjut, riset tersebut juga menemukan bahwa anak penyandang disabilitas jauh lebih banyak tidak mencapai hasil yang baik dibandingkan dengan bukan penyandang disabilitas. Lalu, anak yang ketika masuk ke sekolah belum fasih berbahasa Indonesia atau punya bahasa ibu, memiliki persentase tidak mencapai hasil yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil studi itu, Mark mengatakan kurikulum yang berfokus pada kemampuan esensial akan mengurangi learning loss. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan sampel dari anak yang dibedakan dari kurikulum darurat, kurikulum yang disederhanakan, dan fokus pada literasi dan numerasi.
“Jadi, yang ikut K13 itu membutuhkan sejumlah penyesuaian, baik dari proses, jarak, dan kurikulum darurat yang disederhanakan.”
Selain itu, Mark mengatakan penelitiannya juga menunjukkan bahwa kurikulum yang berfokus terhadap materi esensial lebih cocok untuk anak. Fokus materi esensial yakni literasi dan numerasi bisa dilakukan tidak terlalu cepat, agar semua anak bisa terlibat.
Ia melanjutkan bahwa kurikulum harus fleksibel dengan harapan bisa disesuaikan dengan kemampuan anak. Sebab, ada anak yang cepat belajar, dan sebisa mungkin anak itu tidak sampai menunggu temannya. Sementara, ada anak yang butuh waktu lebih lama untuk belajar dan membutuhkan adaptasi pembelajaran.
”Kurikulum yang fokus terhadap materi esensial jauh lebih baik untuk anak,” kata Mark.
Ia melanjutkan bahwa ada tiga rekomendasi dari studi komprehensif ini, yang meliputi tiga level, yakni level sistem dan kebijakan, level sekolah, dan level komunitas.
Pertama, di level sistem dan kebijakan, kurikulum harus ditransformasikan dan disesuaikan dengan pengembangan kapasitas guru, perbaikan akses dan kualitas sumber daya pembelajaran dan infrastruktur.
Kedua, di level sekolah, ada penggunaan asesmen formatif, adaptasi pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa, memaksimalkan penggunaan sumber belajar seperti platform ‘Merdeka Mengajar’ dan platform lokal yang tersedia.
Ketiga, di level komunitas, perlu mengaktifkan komunitas praktisi seperti KKG untuk pengembangan kapasitas guru. Lalu perlu juga membangun dan memperkuat kolaborasi dengan masyarakat dan entitas pendidikan terkait (BPMP dan BGP).
Menanggapi pentingnya inovasi pada sistem belajar, Kepala Madrasah Ibtidaiyah I Muhammadiyah (MIM) 16 Paciran, Lamongan, Jawa Timur, Niayah juga membagikan kisahnya dalam upaya meningkatkan literasi dalam komunitas belajar dan implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).
Niayah tengah mendorong naiknya tingkat literasi Al-Qur’an bagi para siswanya. Ia melakukan bedah kelas, membuat jam khusus membaca, merenovasi perpustakaan, membuat pojok baca di kelas dan lorong sekolah, serta membuat program tahfidz Qur’an dan kompetisi literasi di madrasahnya.
“Seluruh kegiatan diseminasi ini dilakukan dengan pendanaan mandiri yang didasarkan pada kesadaran untuk melakuan perubahan terutama untuk MIM. Dengan bermitra dengan INOVASI, guru banyak mendapatkan kesempatan berkolaborasi dan mendapatkan pengembangan kapasitas,” terangnya.
Kisah lainnya disampaikan oleh Kepala Sekolah Dasar Masehi Mbatakapidu, Sumba Timur, NTT Yunitha May Atanumba mengenai proses pembelajaran yang dirancang oleh guru dan kini sudah berpusat pada siswa.
“Melalui kegiatan KKG kami berkolaborasi untuk menyusun modul ajar, membuat media bersama, melakukan simulasi dan refleksi. Jika sebelumnya guru belum melakukan asesmen pembelajaran, sekarang guru wajib melakukan asesmen awal pembelajaran dan memetakan kemampuan siswa,” tambahnya.
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tana Tidung, Kalimantan Utara, Vamelia Ibrahim juga berbagi pengalaman terkait upaya percepatan pemulihan pembelajaran di Tana Tidung.
Proses pemulihan pembelajaran di tempat itu dilakukan melalui dua jalur, yakni sekolah dan masyarakat. Khusus untuk pemulihan pembelajaran melalui jalur masyarakat, pengoptimalan fungsi TBM menjadi pilihan. Dalam waktu satu tahun, Vamelia berhasil mendorong berdirinya 38 TBM di seluruh desa di Tana Tidung.
“Kami melakukan pengambilan data di SD 13 Tana Tidung. Anak yang dulunya belum bisa baca, setelah ke TBM, mereka mulai lancar membaca.” ujar dia.