Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani menilai pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui adanya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa di masa lalu adalah bagian dari aksesori politik semata. Ia menyebut pengakuan itu merupakan upaya Jokowi memenuhi janji kampanye pada 2014 saat mencalonkan diri sebagai presiden.
Menurut Isnaini aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden. Ia menyebut pengakuan tidak akan memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.
“SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM,” ujar Isnaini, Jumat (13/1).
Menurut Isnaini, Setara menilai tim non-Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (tim PPHAM) bekerja dalam waktu yang singkat sehingga tak punya ruang cukup untuk membuat kesimpulan yang lengkap. Selain itu ia menyebut, komposisi anggota PPHAM juga kontroversial. Ia meniai, keberadaan tim hanya sebagai pelangkap dalam mendukung kebijakan pemerintah.
"Tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban, tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu," kata Ismail.
Lebih jauh SETARA berpandangan tidak adanya penentuan aktor di balik pelanggaran HAM yang telah disebutkan membuat kesimpulan menjadi kurang. Hal itu sesuai dengan pernyataan Menteri Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang menyebut akan menyantuni dan menangani korban dengan pemulihan.
Pemilihan jalur non yudisial menurut Isnaini merupakan dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran right to the truth sebagai dasar untuk menentukan suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM, atau direkomendasikan melalui jalur non-yudisial. Padahal, kata Ismail, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat penting dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial.
"Ada lompatan logika yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial," kata Ismail.
Ia mengatakan, pengambilan jalur non-yudisial tanpa pengungkapan kebenaran semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas. Lebih jauh, Ismail menyebut SETARA memandang cara kerja tim PPHAM melahirkan aneka kontradiksi dan paradoks dalam diskursus dan gerakan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Berbeda dengan SETARA, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar lebih menekankan aspek pemulihan pada korban. Ia mengusulkan pembentukan gugus tugas berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), untuk pemulihan hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia.
Wahyudi mengatakan, pembentukan suatu gugus tugas yang berkoordinasi dengan LPSK bisa menjadi suatu komitmen utama Jokowi atas laporan tim PPHAM dalam pelaksanaan pemulihan hak-hak korban.
"Mesti ditekankan, pemulihan ini adalah satu proses untuk memenuhi hak-hak dan mengembalikan martabat korban sehingga tidak dikerangka dalam skema karikatif untuk memenuhi fungsi altruistik negara, seperti halnya bantuan sosial," kata Wahyudi, dikutip dari Antara, Jumat (13/1).
Wahyudi mengatakan, komitmen presiden untuk memastikan langkah tersebut akan menjadi kunci utama realisasi janji negara untuk memenuhi hak korban atas keadilan. Langkah menyeluruh diperlukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.