Komisi Yudisial menegaskan akan memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait putusan penundaan pemilihan umum. Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Joko Sasmito mengatakan pemeriksaan dilakukan dalam wilayah yang menjadi kewenangan Komisi.
"Kami bukan mencampuri putusan atau pertimbangan hukumnya ya, tapi porsi kami kepada dugaan ada tidak pelanggaran etik yang dilakukan," kata Joko Sasmito di Jakarta, Senin (6/3).
Dalam putusan atas gugatan Partai Rakyat Adil dan Makmur atau Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum pada Kamis (3/3) hakim memerintah KPU menghentikan tahapan pemilu dan mengulang proses selama dua tahun 4 bulan dan 7 hari. Putusan itu menimbulkan perdebatan karena dinilai sejumlah pakar tata negara menyalahi konstitusi.
Joko menyebutkan ada dua upaya yang dilakukan atas putusan yang dibuat oleh tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Upaya pertama adalah upaya hukum dan kedua dengan melakukan pelaporan terhadap PN Jakarta Pusat.
"Jadi, nanti kalau ini banding atau kasasi kami akan pantau secara langsung," ucap Joko.
Mengenai masalah teknis, dia memastikan Komisi Yudisial tidak akan turut campur. Sebab kata Joko selama ini seringkali rekomendasi dari KY tidak ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung karena dinilai terlalu mencampuri urusan teknis. Karena itu dalam proses pemeriksaan, Komisi akan fokus pada persoalan etika.
"KY merespons dengan cepat meskipun belum ada laporan dari pelapor, namun biasanya kita sudah mendalami melalui tim investigasi," ujarnya.
Namun, setelah adanya laporan resmi masuk ke KY dari koalisi Pemilu Bersih atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, KY akan segera memproses sesuai mekanisme yang ada. Apabila syarat-syarat sudah memenuhi KY segera melakukan registrasi dan melakukan pemeriksaan terhadap para hakim atau pihak-pihak terkait.
Pada tahap awal KY lebih dulu memeriksa panitera dan hakim lain yang tidak terkait dengan putusan KY. Ia pun menyebut tidak tertutup kemungkinan memeriksa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Masalah tersebut menyangkut teknis yudisial dan berkaitan dengan kemandirian hakim," kata Joko.
Sebelumnya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Themis Indonesia Law Firm mengadukan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada KY. pada Senun (6/3). Perludem dan Themis menilai patut diduga adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh ketiga hakim.Adapun ketiga hakim yang memutus penundaan pemilu adalah T Oyong sebagai Hakim Ketua, dua hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban.
Ketiga hakim juga dinilai menyalahi pedoman perilaku saat menangani perkara gugatan yang diregister dengan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst. Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, PN Jakpus tidak punya kewenangan untuk menyelesaikan sengketa administrasi pemilu seperti yang dilaporkan oleh Partai Prima.
"Ini jelas sesuatu yang sangat bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," kata Fadli.
Lebih jauh, Fadli mengatakan putusan hakim PN Jakpus dalam perkara tersebut dinilai bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Hakim dinilai telah mengabulkan sebuah perkara yang bukan kewenangan absolutnya.
Tidak hanya itu, Fadli menilai ada indikasi putusan PN Jakpus tersebut merupakan salah satu bagian dari skenario beberapa kelompok yang menarasikan penundaan pemilu 2024. Hal itu terlihat dengan bergulirnya isu penundaan pemilu dalam beberapa waktu terakhir.