Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menyebut tidak berpikir untuk maju menjadi calon wakil presiden pada pemilihan presiden 2024 mendatang. Hal itu disampaikan Gibran menjabat pernyataan salah satu politisi senior dari PDIP Deddy Sitorus yang menilai Gibran tidak secara tegas memberikan sikap penolakan terhadap isu cawapres. Ia mengaku sudah memberikan sikap sejak dulu.
"Sudah saya jawab, umur belum cukup, ilmunya belum cukup, semua belum cukup. Aku kudu piye meneh? (saya harus bagaimana lagi?)," kata Gibran di Solo seperti dikutip dari Antara Kamis (3/8).
Gibran dengan tegas menepis anggapan bahwa ia disiapkan untuk menjadi cawapres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saat ditanya mengenai potensi bila ia diusung menjadi cawapres dari partai lain ia pun menjawab diplomatis.
"Saya fokus di Solo dulu saja. Ya terima kasih, saya fokus di Solo dulu," kata Gibran.
Munculnya nama Gibran dalam bursa cawapres menjadi buah bibir sejak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berkaitan dengan syarat minimal usia capres dan cawapres bergulir di DPR. Uji Materi itu meminta syarat usia capres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Uji materi yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia itu disebut-sebut menjadi jalan untuk memuluskan langkah Gibran maju di kontestasi pilpres. Menanggapi anggapan tersebut, Gibran mengatakan ia tak memiliki kepentingan dan tidak terlalu mengikuti perkembangan uji materi yang bergulir.
“Lebih pas pertanyaannya ditujukan kepada yang menggugat. Kemungkinan yang berkeinginan yang menggugat. Jangan semua saya yang dicurigai, saya tidak melakukan apa-apa," ujar Gibran.
Ia juga mengaku tidak terlalu memikirkan adanya gugatan tersebut. Gibran menyatakan akan lebih berfokus untuk memikirkan berbagai hal yang berkaitan dengan pembangunan dan kemajuan di Surakarta. Adapun saat ini nama Gibran kerap muncul sebagai salah satu kandidat cawapres pendamping Prabowo Subianto.
DPR dan Pemerintah Beri SInyal Setuju Revisi Usia Capres
Sebelumnya permohonan bernomor 29/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) itu diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia dan empat pemohon individu. Para pemohon individu adalah sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V).
Para pemohon meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya, dan menyatakan materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (3/4) lalu, para pemohon melalui Francine Widjojo menyatakan batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun. Sementara para Pemohon saat ini berusia 35 tahun, sehingga setidak-tidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur 35 tahun dengan asumsi pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Adapun dalam sidang dengan agenda mendengarkan pandangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang berlangsung Selasa (1/8) perwakilan dari masing-masing pihak memberi sinyal setuju. Wakil Ketua Komisi Hukum Habiburokhman yang menjadi perwakilan DPR mengatakan terdapat situasi kekinian yang harus menjadi perhatian.
Ia menyebut merujuk data Badan Pusat Statistik diperkirakan pada 2020 hingga 2030 Indonesia memiliki bonus demografi yang membuat usia produktif mencapai dua kali lipat dari jumlah usia penduduk. Habiburokhman menjelaskan keberadaan penduduk usia produktif berperan serta dalam pembangunan nasional. Peran itu menurut dia dapat diwujudkan dengan menjadi pemimpin nasional lewat jalur presiden maupun wakil presiden.
Senada dengan Habiburokhman, Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar-Lembaga dari Kementerian Dalam Negeri, Togap Simangunsong mengatakan, batas usia tak diatur di UUD 1945. Lebih jauh ia menjelaskan, pengaturan batas usia dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pasal yang diujikan sifatnya open legal policy bagi pembentuk Undang-undang. Dengan begitu, aturan yang demikian dapat saja berubah sesuai kebutuhan yang berkembang dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.