Wacana 4 in 1 Tidak Efektif Atasi Polusi, Berpotensi Picu Praktik Joki

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Kendaraan memadati Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (9/6). Berdasarkan data pada situs IQAir pada Rabu (07/06) pukul 08.00 pagi WIB kemarin, kualitas udara di Jakarta mencapai 155 AQI (Indeks Kualitas Udara). Hal tersebut menempatkan Indonesia dalam posisi 10 besar kota dengan polusi udara terburuk, dan menjadi negara di Asia Tenggara dengan tingkat polusi udara paling buruk.
15/8/2023, 15.36 WIB

Rencana Kementerian Perhubungan untuk menerapkan sistem 4 in 1 di Jakarta dinilai tidak efektif untuk mengatasi polusi udara Jakarta. Aturan tersebut membutuhkan biaya tinggi dan juga berpotensi menyuburkan kembali praktik joki.

Sebagai informasi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan tengah mempertimbangkan untuk menerapkan kembali 4 in 1 untuk menekan polusi udara di Jakarta. Aturan tersebut merupakan revisi dari 3 in 1 yang dulu pernah diterapkan, namun disetop sejak Mei 2016. Penerapan aturan 4 in1 bertujuan untuk mengurangi polusi kendaraan.

Menanggapi hal itu, pakar transportasi Djoko Setijowarno mengatakan bahwa aturan 4 in 1 tidak akan efektif mengatasi polusi udara.

"Dulu 3 in 1 saja dihapus karena gak efektif, ko sekarang mau 4 in 1," ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (15/8).

Dia mengatakan, kebijakan 3 in 1 dulu dihapus karena membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak. Kebijakan tersebut membutuhkan petugas yang harus siaga di lapangan. 

"Petugas kan ada honornya, polisi yang nilang itu ada tambahan uang hibah dari Pemda Jakarta ke Korlantas," ujarnya.

Selain itu, kebijakan 3 in 1 yang dulu diterapkan malah menimbulkan praktik joki. "Jadinya keluar uang banyak, timbul joki, tapi hasil (tekan polusi dan kemacetan) sedikit," ujarnya.

ERP Dinilai Lebih Baik

Menurut Djoko, penerapan ERP (electronic road pricing) atau sistem jalan berbayar lebih baik dibandingkan 4 in 1. Dengan penerapan ERP, pemerintah justru akan mendapatkan pendapatan tambahan. 

"Dengan ERP, tidak perlu banyak petugas, pemerintah tidak  perlu mengeluarkan biaya, malah dapat uang, ujarnya.

Djoko mengatakan,  persoalan polusi udara perkotaan tidak pernah tuntas karena kurangnya koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan BUMN.

Menurut Djoko, masing-masing kementerian bergerak dengan caranya sendiri tanpa memperhatikan data dan fakta yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, anggaran negara menjadi tidak tepat sasaran.

Dia mengatakan, negara memiliki anggaran yang cukup untuk membereskan buruknya kualitas udara di perkotaan. Buktinya, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian memiliki skema insentif kendaraan listrik untuk tahun 2023 dan 2024 sebesar Rp 12,3 triliun.

Insentif itu diberikan Rp 5,6 triliun untuk 800.000 unit motor listrik, Rp 6,5 triliun untuk 143.449 unit mobil listrik dan Rp 192 miliar untuk pembelian 552 unit bus listrik.

Menurut Djoko, sebagian anggaran Insentif Kendaraan Listrik di Kementerian Perindustrian dapat dialihkan untuk pengadaan sejumlah bis listrik produk PT INKA.

"Bus itu kemudian dioperasikan di kota-kota yang berpotensi menimbulkan polusi udara tinggi, termasuk di Bodetabek," ujarnya. 

PT Inka sudah dapat memproduksi sejumlah bis listrik dan sudah digunakan saat perhelatan G20 November lalu di Bali. Pemerintah dapat memesan sejumlah bis listrik untuk mengembangkan angkutan umum di perkotaan, termasuk Kota Jakarta.