Para advokat yang tergabung dalam pergerakan advokat nusantara atau Perekat Nusantara bersama Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi oleh Ketua Mahkamah Anwar Usman. Laporan dilayangkan ke MK pada Rabu (18/10).
Dalam laporannya, para advokat juga mengadukan 9 hakim MK lainnya ke Dewan Etik. Mereka menilai Anwar Usman seharusnya tidak ikut dalam memutus perkara terutama nomor 90/PPU-XXI/2023 karena materi yang diajukan dalam perkara berkaitan dengan langsung dengan Anwar.
Perwakilan Advokat, Petrus Selestinus mengatakan dalam perkara yang diajukan Almas Tsaqibbiru RE pada 15 Agustus 2023 secara terang benderang menyebut nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Presiden Joko Widodo. Tak hanya itu, Gibran merupakan keponakan Anwar yang merupakan hakim terlapor.
Selain itu Anwar juga turut memutus uji materi yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023 yang saat ini dipimpin oleh Kaesang Pangarep. Kaesang merupakan adik Gibran yang juga merupakan keponakan Anwar Usman.
"Hal itu menyebabkan kedudukan hakim terlapor dalam konflik kepentingan, dalam benturan kepentingan atau oleh UU Kekuasaan Kehakiman disebut dengan “berkepentingan," ujar Petrus seperti dikutip Kamis (19/10).
Merujuk aturan dalam pasal 17 ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman seharusnya tidak ikut memutus dan mengundurkan diri perkara. Di sisi lain, Advokat juga mengkritik pemerintah dan DPR yang sejak kasus bergulir tidak mengkritik keterlibatan Anwar dalam sidang.
"Telah berimplikasi kepada terjadinya cacat hukum terhadap seluruh proses dan hasil persidangan bahkan termasuk putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara-perkara a’quo," ujar Anwar.
Persoalkan Konsistensi Putusan
Selain itu Petrus mengatakan adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda yang disampaikan 4 hakim menunjukkan indikasi ada ketidakberesan dalam putusan. Dalam penjelasannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra yang memiliki pendapat berbeda mengatakan adanya peristiwa aneh dan luar biasa.
Terlebih pada tiga perkara sebelumnya yang diajukan PSI, Partai Garuda dan Partai Gerindra hakim telah memutuskan bahwa perkara usia capres dan cawapres yang diatur dalam norma pasal 169 huruf q UU No. 7 tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang sehingga menutup ruang bagi tindakan lain selain oleh pembentuk undang-undang.
“Hal ini menurut para pelapor sebagai telah melanggar etika karena tidak taat pada Hukum Acara dan ketentuan pasal 6 UUD 1945,” ujar para advokat dalam laporannya.
Sebelumnya dalam sidang yang berlangsung Senin (16/10) Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Gugatan pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diajukan Almas Tsaqibbirru Re A pada 3 Agustus 2023.
Dalam permohonannya pemohon memang tidak secara tegas meminta adanya perubahan usia calon presiden. Namun pemohon mengatakan agar mahkamah memaknai secara alternatif untuk menambah klausul mengenai adanya pengalaman dalam menjadi kepala daerah.
Dalam gugatannya pemohon lebih mengambil pendekatan pada hak suara pemilih. Ia menyebut undang-undang tidak bisa membatasi pemilih dalam memilih calon pemimpin yang dianggap layak. Gugatan itu dimaksudkan agar hak warga negara yang telah memiliki hak pilih untuk bisa memilih calon presiden dan wakil presiden yang terbukti telah berhasil dalam membangun daerah.
Pada pertimbangan yang dibacakan hakim M Guntur Hamzah disebutkan bahwa majelis hakim memutuskan untuk menerima sebagian untuk seluruh gugatan yang dilayangkan. Selain itu ia menyebut pemohon memiliki hak konstitusi untuk mengajukan tambahan frasa pada pasal 169 huruf q UU tentang Pemilu dengan frasa 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah'.
"Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan pasal a quo dan menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan," ujar hakim Guntur saat membacakan putusan di Gedung MK, Senin (16/10).
Menurut Guntur putusan terbaru tersebut sekaligus berdampak pada putusan yang sebelumnya sudah ditetapkan mengenai perkara yang sama. Sebelumnya MK telah menolak gugatan yang disampaikan Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda dan Gerindra.
Putusan yang dibacakan Anwar mendapat perbedaan pendapat. Ada alasan berbeda (concurring opinion) dari dua hakim yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel YUsmic P Foekh. Selanjutnya terdapat 4 pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu dari hakim Saldi Isra, H Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Suhartoyo.