Jimly Jelaskan 3 Opsi Sanksi Bila Hakim MK Terbukti Melanggar Etik

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) memimpin jalannya rapat perdana di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Penulis: Ira Guslina Sufa
2/11/2023, 12.55 WIB

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menjelaskan tiga opsi sanksi terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Menurut Jimly tiga opsi itu telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2023.

“Kalau di PMK itu kan jelas, sanksi itu tiga macam. teguran, peringatan, dan pemberhentian,” kata Jimly seperti dikutip Kamis (2/11). 

Menurut Jimly opsi sanksi yang diberikan tergantung dengan pelanggaran yang dilakukan. Dia menjelaskan opsi pemberhentian  terdiri atas pemberhentian dengan tidak hormat, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian bukan sebagai anggota hakim konstitusi, tetapi sebagai ketua.

Untuk sanksi peringatan menurut Jimly juga memiliki tingkatan yang berbeda. Ada yang masuk peringatan biasa, peringatan keras dan peringatan sangat keras. “Itu tidak ditentukan di dalam PMK, tapi variasinya mungkin,” ujar Jimly lagi..

Opsi sanksi ketiga yang bisa diberikan kepada hakim MK menurut Jimly adalah teguran tertulis dan teguran lisan. Dia mencontohkan, teguran disampaikan secara lisan bersamaan dengan penyampaian putusan sehingga tidak lagi memerlukan surat khusus secara tertulis.

“Tapi bisa juga teguran dengan surat khusus. Surat khusus memberi teguran, tapi dilampirkan putusan,” ujar dia. 

Di sisi lain Jimly mengatakan apabila hakim konstitusi tidak terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana yang dilaporkan, maka akan direhabilitasi. Rehabilitasi akan diberikan kepada sembilan hakim yang saat ini mendapat laporan dari publik. 

Meski begitu, menurut Jimly saat ini MKMK belum sampai pada kesimpulan soal sanksi yang diberikan lantaran proses persidangan masih berlanjut. MKMK masih melakukan klarifikasi atas aduan masyarakat kepada 9 hakim MK dan juga pelapor. 

Saat ini MKMK telah memeriksa tiga hakim terlapor pada Selasa (31/10) yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih dan 3 hakim pada Rabu (1/11) yaitu Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, dan Suhartoyo. Sementara itu, tiga hakim konstitusi lainnya, yaitu Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, M. Guntur Hamzah, dan Wahiduddin Adams, akan diperiksa pada Kamis (2/11).

Selain itu, MKMK juga akan mengkonfrontir panitera dalam perkara tersebut. Jimly menyebut pihaknya menemukan banyak masalah dalam cara pengambilan keputusan dan prosedur persidangan.

Sebelumnya Jimly mengatakan terdapat sepuluh poin persoalan yang ditemukan MKMK terkait MK, berdasarkan laporan dari masyarakat. Laporan itu antara lain soal dugaan konflik kepentingan, perilaku hakim yang berbicara di luar sidang terkait perkara yang ditangani, bocornya data internal, juga soal materi dissenting opinion yang muatannya melebihi yang seharusnya.  

Menurut Jimly, ditambah dengan dugaan pembiaran oleh hakim MK ini maka terdapat 11 poin persoalan yang telah dilaporkan oleh masyarakat kepada MKMK.  Persoalan etik hakim MK ini mencuat setelah pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah. Ia mengajukan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). 

 Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan itu menjadi kontroversi karena memuluskan langkah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Bersatu mendampingi Prabowo Subianto.  

Reporter: Ade Rosman