Industri Fashion Turut Sumbang Deforestasi, Apa yang Bisa Dilakukan?

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Ilustrasi. Peserta mengikuti parade fashion penggunaan wastra nusantara atau kain nusantara berbahan lokal alam Indonesia saat hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) di Jakarta, Minggu (8/10/2023). Parade yang diselenggarakan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) berkolaborasi dengan Hutan Itu Indonesia tersebut mengkampanyekan kain nusantara berbahan alami (eco fashion) untuk mengurangi dampak industri fashion yang menyumbang 10 persen dari total emisi karbon dunia.
Penulis: Nadya Zahira
Editor: Dini Pramita
12/11/2023, 11.21 WIB

Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan angka deforestasi Indonesia mencapai 107.000 hektare (ha) pada 2022 atau nyaris dua kali lipat luas DKI Jakarta. Salah satu penyebab terjadinya deforestasi yakni industri fashion. 

Founder and CEO Pable Indonesia, Aryenda Atma mengatakan industri fashion memang menjadi salah satu penyebab deforestasi di Tanah Air karena ratusan juta pohon ditebang setiap tahunnya untuk kebutuhan industri tekstil terutama pakaian. Padahal, hutan-hutan tersebut harus dilestarikan dan dijaga  agar tidak terjadi kepunahan. 

“Kita kehilangan ekosistem demi ekosistem untuk memenuhi kebutuhan pakaian kita. Padahal ekosistem itu fungsinya untuk menahan kita dari kepunahan. Jika kita selalu mengalami deforestasi, maka iklim akan semakin rusak,” ujarnya dalam acara Count Down TEDx, di Jakarta, Sabtu (11/11). 

Untuk itu, dia mengatakan bahwa masyarakat seharusnya bisa lebih sadar terhadap perubahan iklim. Upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi deforestasi yaitu dengan cara melakukan daur ulang terhadap pakaian yang sudah tidak layak dipakai. Dengan begitu, akan mengurangi pohon yang akan ditebang.

“Apalagi kalau kita tahu hanya kurang dari 1% pakaian yang kita pakai itu bisa didaur ulang,” kata dia. 

Selain itu, Aryenda menyebutkan, berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bapenas) bahwa limbah tekstil di Indonesia pada tahun 2030 diprediksi akan mencapai 3,5 juta ton. 

Dia menuturkan, limbah tekstil tersebut sangat sayang jika hanya dibakar dan tidak didaur ulang. Apalagi, dalam proses pembakarannya akan menciptakan emisi yang cukup besar dan mencemari lingkungan. 

“Kebayang ga itu sebanyak apa? Kalau kita berhasil mendaur ulang semua material ini, kita mampu memberikan kebutuhan sandang untuk 65 generasi mendatang,” kata dia. 

Dia mengatakan, bagi masyarakat yang ingin melakukan daur ulang pakaiannya bisa melalui perusahaannya yakni, PT. Daur Langkah Bersama (Pable). Pable adalah perusahaan pengelolaan limbah tekstil yang didirikan pada 2020. 

Dia berharap, masyarakat dapat menyadari pentingnya merasa cukup dengan pakaian yang dimiliki saat ini dan menghindari perilaku konsumtif pada pakaian yang berakhir menjadi limbah. Dia menyarankan agar masyarakat membeli pakaian yang dibutuhkan, sehingga benar-benar terpakai.

"Dan jika pakaian tidak terpakai sebaiknya didaur ulang, sehingga bisa menciptakan pakaian baru. Dengan begitu angka deforestasi pun akan berkurang,” kata dia. 

Deforestasi memang menjadi salah satu isu utama yang menjadi perhatian serius komunitas internasional saat ini. Uni Eropa misalnya, merilis aturan anti-deforestasi untuk berbagai komoditas yang masuk ke wilayah tersebut. Nantinya, perusahaan pengekspor harus menyertakan dokumen yang menyebutkan komoditas tersebut tidak berasal dari area deforestasi sejak 2020. 

Sementara itu, organisasi masyarakat sipil menilai pengembangan biomassa dan skema co-firing batu bara akan menjadi ancaman terhadap deforestasi. Peneliti Trend Asia Amalya Reza menyebutkan pengembangan biomassa berisiko membuka lahan hutan. 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 menyebutkan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi konversi (HPK) dicadangkan untuk energi. 

Reporter: Nadya Zahira