Nasib Hak Angket Kecurangan Pemilu di DPR Tunggu Sikap Resmi PDIP

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wpa.
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) memimpin jalannya rapat paripurna penutupan masa persidangan II tahun sidang 2023-2024 di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Penulis: Ira Guslina Sufa
23/2/2024, 07.46 WIB

Bergulirnya hak angket tentang kecurangan pemilu 2024 di Dewan Perwakilan Rakyat kini menunggu sikap resmi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sejak wacana hak angket digulirkan oleh calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo, PDIP belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai sikap partai atas usulan itu. 

PDIP baru sebatas membahas usulan hak angket maupun hak interpelasi kecurangan pemilu bersama partai koalisi pendukung Ganjar - Mahfud MD. Pada rapat evaluasi tim pemenangan nasional atau TPN Ganjar - Mahfud yang dihadiri para ketua umum partai koalisi pada Kamis (14/2) isu hak angket dan interpelasi memang sempat dibahas. 

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhamad Mardiono, Ketua Umum Perindo Hary Tanoe Soedibyo dan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang turut membahas wacana yang disampaikan Ganjar. Namun, setelah rapat belum ada satupun partai pengusung yang menyampaikan sikap resmi soal hak DPR itu. 

Dalam pernyataannya, Ganjar berpendapat hak angket merupakan hak penyelidikan DPR dan salah satu upaya untuk meminta pertanggungjawaban penyelenggara pemilu. Ia meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjelaskan dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. 

“Jika DPR tak siap dengan hak angket, saya mendorong penggunaan hak interpelasi DPR untuk mengkritisi kecurangan pada Pilpres 2024,” kata Ganjar, di Jakarta, Senin (19/2). 

Berbeda dengan Ganjar, calon wakil presiden pendampingnya Mahfud MD tak mau bersuara banyak soal hak angket. Mantan menteri koordinator politik hukum dan keamanan itu mengatakan usulan penggunaan hak politik di DPR menjadi sepenuhnya kewenangan partai. 

"Saya tidak akan berkomentar lah soal hak angket, hak interpelasi, itu urusan partai-partai. Mau apa ndak, kalau ndak mau juga saya tidak punya kepentingan untuk berbicara itu,” ujar Mahfud. 

Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting dan strategis. Sedangkan interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan penting, strategis serta berdampak luas. 

Koalisi Anies Sepakat Dukung Hak Angket

Keterangan pers pasangan Amin (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/Spt.)


Sementara koalisi pendukung Ganjar - Mahfud belum mengeluarkan sikap resmi, koalisi pendukung Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar bergerak lebih maju. Pada rapat yang digelar di Nasdem Tower pada Kamis (22/2) tiga partai pengusung Anies - Muhaimin sepakat untuk menggulirkan hak angket. Namun, penggunaan hak akan menunggu sikap dari PDIP. 

“Semangat kami sebagai satu kesatuan yang utuh, tiga partai yang solid berkoalisi. Semangat kami seperti semangat yang disampaikan Pak Anies, kami siap bersama inisiator PDIP untuk menggulirkan angket,” kata Sekretaris Jenderal Nasional Demokrat, Hermawi Taslim. 

Untuk langkah selanjutnya, Koalisi Perubahan bakal menunggu tindak lanjut PDIP selaku inisiator hak angket. Hermawi menjelaskan belum ada komunikasi antara calon presiden yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo, dan tiga partai di Koalisi Perubahan. 

Ia mengaku sudah mempersiapkan diri dan data terkait untuk menggugat hasil Pemilu yang dianggap curang. “Kami menunggu pernyataan Pak Ganjar Pranowo di DPR. Pengusulan hak angket di dewan itu kan minimal dua fraksi. Kalau mereka sudah mulai, kumpul tanda tangan, kami pasti ikut,” kata Hermawi. 

Meski begitu, ia enggan mengonfirmasi apakah pengguliran hak angket ini bakal berhubungan dengan isu pertemuan Megawati–Surya Paloh atau Megawati–Jusuf Kalla. Menurutnya agenda pertemuan itu bakal membahas hal lain, namun ketua umum tiga partai Koalisi Perubahan sudah menyetujui hak angket tersebut. 

Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2014, hak angket adalah hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan. Usul hak angket bisa diajukan oleh minimal 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi. Namun, usul itu baru dianggap sah menjadi hak angket jika mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR yang disetujui lebih dari 50% anggota yang hadir di sidang. 

Koalisi pengusung Anies-Muhaimin, Koalisi Perubahan menguasai 167 kursi DPR. Rinciannya, Nasdem 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PKS: 50 kursi. Kemudian koalisi pengusung Ganjar-Mahfud menguasai 147 kursi DPR, dengan rincian PDIP 128 kursi dan PPP 19 kursi.

Jika digabungkan, koalisi pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menguasai 314 kursi. Porsinya sekitar 55% dari total kursi DPR periode 2019-2024 yang berjumlah 575 kursi.

Namun, di tengah kabar isu hak angket ini Surya Paloh bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara pada Minggu (18/2). Pertemuan ini memunculkan isu Nasdem diajak bergabung dengan koalisi calon pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Penyelesaian Pemilu Lewat Jalur MK

Sementara itu Badan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bakumham) Partai Golkar  menolak ide penggunaan hak angket untuk merespons  dugaan kecurangan hasil Pemilu 2024. Ketua Bakumham Partai Golkar Supriansa mengatakan bahwa hasil pemilu belum rampung secara keseluruhan, sehingga penggunaan hak angket tersebut tidak masuk ke dalam logika hukum.

"Apalagi hak angket adalah hak penyelidikan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang. Pertanyaannya undang-undang apa yang dilanggar," kata Supriansa dalam keterangan resmi. 

Dia pun menjelaskan bahwa sudah ada mekanisme yang bisa dilalui jika ada permasalahan terkait hasil pemilu. Menurutnya, kecurangan bisa dilaporkan ke Bawaslu dan Sentra Gakkumdu.

Selain itu ketidakpuasan terhadap pemilu menurut dia bisa dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi atau ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan pelanggaran kode etik bisa dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Penggunaan hak angket terkait hasil pemilu ibarat 'jauh api dari panggang' artinya sesuatu yang jauh dari harapan konstitusi bangsa ini," kata dia. 

Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Ia menyebut penyelesaian atas ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu dan hasilnya, khususnya soal pemilihan presiden, hendaknya diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, bukan menggunakan hak angket DPR.

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril. 

Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu, keberadaan hak angket memang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketentuan mengenal hak angket dalam pasal tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum dalam hal pengawasan terhadap hal apa saja yang menjadi obyek pengawasan DPR.

Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang, yakni undang-undang yang mengatur DPR, MPR, dan DPD. Selain itu, Yusril menjelaskan bahwa Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menjelaskan para perumus amandemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

"Oleh karena itu, saya berpendapat jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," ujarnya.

Yusril menerangkan putusan MK dalam mengadili sengketa pilpres akan menciptakan kepastian hukum, sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian. "Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.

Pemilu 2024 meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota. Adapun jumlah pemilih yang terdaftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional sebanyak 204.807.222 pemilih.

Reporter: Amelia Yesidora