Saksi Ungkap Pernah Manipulasi Anggaran Dinas Syahrul Limpo ke Brasil

ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/rwa.
Terdakwa kasus pemerasan dan gratifikasi Syahrul Yasin Limpo (tengah) berjalan meninggalkan ruangan usai mengikuti sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Penulis: Ade Rosman
13/5/2024, 13.48 WIB

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Ali Jamil Harahap mengatakan direktoratnya pernah memanipulasi anggaran sebuah acara untuk memberikan ongkos mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Anggaran itu dibuat agar Syahrul Yasin bisa melakukan kunjungan kerja ke Brasil. 

Pernyataan itu diungkapkan Ali saat dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam sidang dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi dengan terdakwa Syahrul Limpo. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (13/5).

Dalam sidang itu, hakim ketua Rianto Adam Pontoh menanyakan perihal iuran pejabat eselon I di Kementan khususnya Dirjen PSP untuk Syahrul, yang disebut Ali dimintai per momen.

Hakim kemudian bertanya soal kunjungan kerja Syahrul ke Brazil. Ali ditanya apakah perjalanan itu termasuk yang menggunakan dana iuran Ditjen PSP. Ali kemudian menjelaskan bahwa Ditjen PSP di Kementan diminta iuran Rp 600 juta agar Syahrul berangkat ke Brazil.

"Ke Brazil kami dari Ditjen PSP diminta sharing Rp600 juta," kata Ali dalam sidang.

Di sisi lain, Ali mengaku lupa kapan uang itu dipinta ke Ditjen PSP. Hakim lantas menanyakan siapa yang menagih dana iuran itu. Ali mengatakan mantan Sekjen Kementan Kasdi Subagyo adalah yang  memintanya.

"Kami dilaporkan oleh Sesdit sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) itu sesuai dengan BAP kami itu dari sisa kegiatan," kata Ali lagi.

Ali pun lalu mengungkapkan menggunakan anggaran dari kegiatan acara untuk diberikan sebagai iuran untuk perjalanan tersebut. "Yang disebut waktu itu contoh misalnya ada kegiatan rapat di hotel. Waktu itu ada sisa anggaran, itu yang dilaporkan Sesdit kami waktu itu," kata Ali.

Hakim kemudian memberi pertanyaan lebih lanjut kepada Ali. “Misalnya rapat 5 hari, dimarkup jadi 7 atau 8 hari? seperti itu kah?," hakim bertanya.

Ali mengaku dirinya tak tahu urusan teknis, karena merupakan ranah Sesdit. Lebih jauh, hakim pun kemudian mendalami dari mana sumber uang agar bisa memenuhi urunan Rp 600 juta untuk perjalanan ke Brazil tersebut. 

Ali kemudian mengatakan ia tidak mengetahui secara pasti. Selain itu, ia juga menyebut terdapat anggaran dari suatu perjalanan dinas, namun ia tak dapat merincinya.

"Apa benar benar ada perjalanan dinas? atau fiktif?" tanya hakim

"Itu mereka yang tahu teknisnya," jawab Ali.

"Saudara secara tidak langsung menyetujui. Okelah tutup mata tahu sama tahu akhirnya terkumpul Rp600 juta kan?," kata hakim menegaskan.

"Siap yang mulia, iya," Ali mengamini. 

Pada sidang hari ini, jaksa KPK menghadirkan delapan orang saksi. Mereka adalah Dirjen Perkebunan Kementan, Andi Nur Alam dan Direktur Perbenihan Dirjen Perkebunan Kementan, Muhammad Saleh Muktar. Ada juga Kepala Bagian Umum Dirjen Perkebunan Kementan, Sukim Supandi dan Dirjen Peternakan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah.

Jaksa KPK juga menghadirkan Kabag Umum Setdijen PKH, Arif Budiman dan Sekretaris Dirjen PKH, Makmun; Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Ali Jamil Harahap. Selain itu juga dihadirkan Kabag umum Dirjen Prasarana & Sarana Pertanian Kementan, M. Jamil Bahruddin.

Dalam perkara ini Syahrul Limpo didakwa melakukan pemerasan serta menerima gratifikasi dengan total Rp 44,5 miliar dalam kasus dugaan korupsi di Kementan pada rentang waktu 2020 hingga 2023. Pemerasan dilakukan bersama Kasdi Subagyono selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian periode 2021–2023 serta bekas Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta antara lain untuk membayarkan kebutuhan pribadi Syahrul.

Sebelumnya Syahrul Limpo sudah didakwa melanggar Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Reporter: Ade Rosman