Partai Pendukung Prabowo Kompak Serang PDIP soal Kenaikan PPN 12%
Partai pendukung pemerintah Prabowo Subianto kompak menuding Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersikap 'lempar batu sembunyi tangan' terkait kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen. Para elite partai politik yang melayangkan kritik di antaranya Gerindra, Golkar, PKB, NasDem, hingga PAN.
Pemerintah bakal resmi menaikkan PPN menjadi 12 persen pada Januari 2025 mendatang. Kenaikan PPN ini memancing perdebatan, tak hanya di kalangan masyarakat, para elite partai politik juga saling tuduh soal inisiator kenaikan PPN.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menyebut pembahasan rancangan beleid itu di DPR dipimpin ketua panitia kerja (panja) dari kader PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit.
Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid juga menilai peran PDIP dalam kenaikan PPN sangat besar. "PDIP yang semula menginisiasi dan memimpin panja tentang UU HPP sehingga diputuskan kenaikan PPN 12%, kok sekarang balik badan, bahkan terkesan menyerang kebijakan tersebut," kata Jazilul dalam keterangannya, Senin (23/12).
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI ini menyatakan heran dengan sikap PDIP yang berubah di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. "Anehnya, pada saat kepemimpinan Presiden Prabowo, kok sikap PDIP jadi berubah tidak setuju dengan UU yang telah diperjuangkan sendiri," kata dia.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Nasdem, Fauzi Amro menilai respons PDIP terhadap kenaikan PPN merupakan cerminan sikap tidak konsisten.
"Sekarang PDIP menolak kenaikan PPN 12%, berarti mereka mengkhianati atau mengingkari kesepakatan yang dibuat bersama antara Pemerintah dan DPR RI, termasuk Fraksi PDIP yang sebelumnya menyetujui kebijakan ini. Sikap ini seperti 'lempar batu sembunyi tangan' dan berpotensi mempolitisasi isu untuk meraih simpati publik," kata dia.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi pun turut menyoroti berbaliknya sikap PDIP usai tak lagi digambarkan sebagai partai yang berada di lingkar kekuasaan. Menurutnya, PDIP berusaha menggambarkan diri bak pahlawan.
"Sebagian masyarakat tentu akan menilai bahwa perubahan sikap PDI-P dikaitkan dengan posisinya yang berada di luar pemerintahan. Karena argumentasi ditentukan oleh posisi (kekuasaan). Dulu setuju bahkan berada di garis terdepan, sekarang menolak, juga di garis terdepan," kata dia.
Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun menilai PDIP tengah melakukan politik cuci tangan karena seakan-akan tak ikut terlibat dalam pembahasannya.
"Sikap politik mencla-mencle PDI Perjuangan seperti ini harus diketahui oleh semua rakyat Indonesia banyak, ketika berkuasa berkata apa. Ketika tidak menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat. Berpolitiklah secara elegan," kata dia.
Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus beralasan, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden ketujuh RI, Joko Widodo (Jokowi) pada periode lalu. Dalam pembahasannya, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai Ketua Panja.
"Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan," kata Deddy.
Ia menuturkan, saat itu disetujuinya UU tersebut dengan asumsi kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi global baik-baik saja. Namun, ia mengatakan seiring berjalannya waktu, diperlukan pengkajian ulang terkait penerapan kenaikan PPN.
Deddy menggambarkan, kondisi yang dimaksudnya yakni daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar yang saat ini terus naik.
"Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," kata dia.
Berdasarkan hal itu, Deddy mengatakan, sikap fraksi PDIP terhadap kenaikan PPN menjadi 12% yakni meminta pemerintah mengkaji ulang penerapannya.
"Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji," kata dia.