Polemik Revisi UU Penyiaran: Ditolak Publik, Ditarget Tuntas September

Pexels
Kontroversi RUU Penyiaran
Penulis: Ira Guslina Sufa
17/5/2024, 14.10 WIB

Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi sorotan masyarakat. Pasalnya, revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 itu dianggap memuat beberapa hal yang dinilai mengurangi kebebasan berpendapat masyarakat. 

Salah satu poin yang menjadi buah bibir adalah melarang penayangan jurnalistik investigasi. Pasal lain berkaitan dengan posisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dapat menjadi pihak yang menyelesaikan sengketa pers. 

Dalam naskah revisi, Pasal 50B draf RUU ini menjelaskan Standar Isi Siaran atau SIS yang menjadi panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. Dalam ayat 2, tertulis 11 konten yang dilarang, salah satunya di poin c, yakni penayangan jurnalistik investigasi.  

“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai (…) c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” tulis draft RUU seperti dikutip Jumat (17/5). 

Dewan Pers dan seluruh komunitas pers telah menolak isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Selasa lalu. 

Suara senada dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika. Ia menegaskan, jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers.

Konferensi pers Dewan Pers untuk merespons pembahasan RUU Penyiaran di Jakarta, Selasa (14/5). Foto: Amelia Yesidora (Katadata)

Tolak Pembahasan Revisi Dilanjutkan 

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, LBH Pers, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Greenpeace, Watchdoc dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak pembahasan revisi dilanjutkan.

“RUU Penyiaran yang tengah disusun oleh DPR benar-benar mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia,” tulis koalisi dalam pernyataan resmi. 

Menurut koalisi, sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi. Revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR dinilai bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan menjadi polemik di masyarakat. 

Lebih jauh koalisi menilai konten jurnalistik investigatif jadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup pluit (whistleblower). Dalam konteks pemberantasan korupsi maupun gerakan masyarakat sipil koalisi menilai tidak sedikit kasus yang terungkap berasal dari informasi publik yang diinvestigasi oleh jurnalis. 

“Meski ada beberapa kanal whistleblower, namun masyarakat cenderung lebih percaya pada para jurnalis maupun inisiatif kolaborasi investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis,” tulis koalisi. 

Di sisi lain koalisi menilai ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan regulasi lain khususnya yang menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers.  Ketentuan dalam RUU Penyiaran dinilai bertentangan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

“Berdasarkan hal itu koalisi mendesak DPR agar menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi,” tulis koalisi. 

Keberadaan pasal yang menghambat penayangan liputan investigasi juga menjadi sorotan pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengingatkan agar pembahasan RUU mengakomodir masukan dari berbagai pihak. 

“Sebagai mantan jurnalis, saya tentu berharap RUU Penyiaran tidak menimbulkan kesan sebagai “wajah baru” pembungkaman pers,” ujar lewat keterangan tertulis. 

Menurut Budi, pemerintah berkomitmen penuh mendukung dan menjamin kebebasan pers termasuk dalam peliputan-peliputan investigasi.  Ia menyebut berbagai produk jurnalistik yang dihadirkan insan pers adalah bukti demokrasi Indonesia semakin maju dan matang.

Aksi wartawan Blitar tolak RUU penyiaran (ANTARA FOTO/Irfan Anshori/nym.)

Tampung Aspirasi Publik 

Menanggapi penolakan yang muncul di masyarakat, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyatakan tak pernah ada niatan untuk mengkerdilkan peran pers. Meutya mengatakan yang beredar di masyarakat saat ini baru berupa draft RUU. Ia mengakui sebagai draft penulisannya belum sempurna dan cenderung multitafsir.

“Tahapan draft RUU Penyiaran saat ini masih di Badan Legislasi, yang artinya belum ada pembahasan dengan pemerintah,” kata Meutya dalam keterangannya, Kamis (16/5).

Ia mengatakan, dalam rapat internal Komisi I DPR yang digelar 15 Mei 2024 telah menyepakati agar Panja Penyiaran Komisi I DPR mempelajari kembali masukan dari masyarakat. Ia menyebut diskursus dan diskusi mengenai RUU Penyiaran yang berkembang menjadi bahan masukan pembahasan. 

Di sisi lain, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar mengatakan RUU Penyiaran dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat dan insan media. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengatakan RUU Penyiaran harus mampu mengatasi tantangan jurnalisme di ruang digital tanpa mengancam kebebasan berekspresi.

"Sejauh ini, revisi UU Penyiaran masih berupa draft. Artinya, masih ada waktu untuk menyerap dan mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat dan teman-teman media," kata Muhaimin dalam keterangannya, Kamis (16/05).

Muhaimin mengatakan, jurnalisme tak hanya sekadar mengutip omongan dari juru bicara ataupun melansir dari rilis saja. Ia mencontohkan Dirty Vote, Buka Mata dan Bocor Alus sebagai produk jurnalisme investigasi yang mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi yang kredibel. 

“Karya-karya seperti ini justru perlu kita dukung karena akan membawa kebaikan bagi bangsa. Sama halnya dengan karya-karya kreatif lain yang hanya dapat muncul jika diberi ruang kebebasan,” kata Muhaimin. 

Target Rampung September 

Berkaitan dengan proses pembahasan, anggota Panitia Kerja RUU Penyiaran Nurul Arifin mengatakan saat ini RUU masih dalam proses harmonisasi di Baleg. Selanjutnya, apabila sudah rampung baru akan dibawa ke paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR. 

"RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR, masih dalam proses, jadi belum final," kata Nurul. 

Dia mengatakan dua pasal yang dibahas cukup intens berkaitan dengan beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42, yang memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Selain itu, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," kata Nurul. 

Menurut dia, terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI. Ada juga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off.

Revisi UU Penyiaran menurut Nurul sebenarnya sudah bergulir sejak 2012. Namun seiring dengan perkembangan teknolog beberapa pasal memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC).

"Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini," ujar Nurul. 

Sebelumnya Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan pembahasan revisi UU Penyiaran akan dikebut. Menurut Ubaidillah, target terdekat revisi bisa rampung menjadi Undang-undang sebelum masa tugas DPR periode 2019-2024 berakhir. Sesuai ketentuan pergantian DPR akan terjadi 1 Oktober 2024 saat anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah mengucapkan sumpah jabatan. 

"Dari beberapa diskusi memang dari Komisi I menyampaikan bahwa revisi Undang-Undang Penyiaran akan dikejar selesai di periode ini," kata Ubaidillah seperti dikutip dari Antara. 

Ia mengatakan target tersebut dapat tercapai dengan mempertimbangkan revisi UU Penyiaran yang saat ini telah berada di Baleg DPR. ia pun mengatakan target tersebut juga sejalan dengan masa periode DPR RI saat ini yang berakhir pada 2024.

Di sisi lain Ubaidillah mengatakan revisi UU Penyiaran diperlukan dengan mempertimbangkan akses informasi yang secara fundamental telah berubah, terutama berkaitan dengan internet.  Selain itu ada kepentingan ekonomi termasuk algoritma informasi, sehingga masyarakat seperti ditatar apa yang perlu dilihat dan ditonton. 

"Platform digital dan media sosial menawarkan nilai universal dan homogenitas. Dampaknya adalah semakin terkikisnya kebudayaan nasional karena masyarakat dipaksa memasuki desa global, yaitu globalisasi," jelasnya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa revisi UU Penyiaran diperlukan sebab produk jurnalistik di media penyiaran semakin terkikis mutu dan kualitasnya. Hal itu menurut dia ditandai dengan produk yang mengedepankan viral dan "clickbait".

Reporter: Ade Rosman