Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan penundaan lantaran ada perintah dari fraksi-fraksi di DPR.
Menurut Supratman alasan penundaan pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran karena lembaganya tidak ingin kemerdekaan pers terganggu. Ia mengatakan penundaan pembahasan terutama berkaitan dengan dua isu yang ramai dibahas publik.
“Satu, posisi Dewan Pers, yang kedua menyangkut jurnalistik investigasi," kata Supratman kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5).
Supratman mengatakan, draf RUU Penyiaran saat ini sudah berada di Baleg DPR. Dirinya juga menyebut Baleg DPR telah mendengarkan paparan dari Komisi I sebagai pengusul.
RUU Penyiaran sebelumnya mengundang penolakan dari berbagai kelompok masyarakat. Salah satu penolakan berasal dari Dewan Pers karena kehadiran aturan ini akan mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan pihaknya menghormati kewenangan DPR dalam penyusunan regulasi, termasuk dalam hal pemberitaan pers, baik cetak, elektronik, dan lainnya. Meski begitu Ninik mengatakan Dewan Pers menolak RUU tersebut.
"Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolaknya. Hal ini mencerminkan pemenuhan hak konstitusional sebagai warga negara untuk mendapatkan informasi sebagai mana yang dijamin dalam UUD 45," kata Ninik di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5).
Ninik menjelaskan konteks hukum dan jurnalistik di balik penolakan ini. Dari kacamata hukum, Dewan Pers menyoroti UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang tidak masuk dalam konsiderans RUU Nomor 32 Tahun 2002. RUU Penyiaran dinilai juga menjadi salah satu sebab pers tidak merdeka dan tidak independen.
Dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan jika perubahan ini diteruskan sebagian aturan, maka akan menyebabkan pers menjadi produk jurnalistik yang buruk, tidak profesional dan tidak independen. Selain itu, proses penyusunan RUU ini juga dinilai melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam beleid ini tertulis penyusunan regulasi mesti melibatkan partisipasi masyarakat atau meaningful participation. Selain itu, ada juga poin kontroversial pada Pasal 50B Ayat 2 huruf k tentang pelarangan penayangan yang mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Poin tersebut dinilai kontroversial karena mengandung makna yang multitafsir.
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyebut Komisi I DPR RI menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran selesai dibahas dan dapat disetujui menjadi undang-undang pada tahun 2024 ini.
Kemudian Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menepis tudingan bahwa revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengecilkan peran pers. Ia menegaskan bahwa Komisi I DPR menyadari keberlangsungan media yang sehat adalah penting.