Dewan Keamanan PBB mendukung proposal gencatan senjata Israel - Palestina yang ditawarkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Senin (10/6). Ini kali pertama dewan ini mendukung perjanjian perdamaian mengakhiri perang di Palestina.
Resolusi ini menyatakan Israel setuju dan menyerukan pada Hamas untuk sepakat. Proposal ini mendesak kedua pihak untuk sepenuhnya melaksanakan semua ketentuan tanpa penundaan dan tanpa syarat.
Proposal ini juga menyebutkan bila negosiasi tahap pertama berjalan lebih lama dari enam minggu, gencatan senjata bakal tetap berlanjut sepanjang negosiasi berlanjut.
Dalam pemungutan suara tersebut 14 anggota Dewan Keamanan PBB mendukung rencana, sementara Rusia abstain. Hamas juga sudah menerima draf tersebut dan menyatakan siap bekerjasama dengan mediator yang konsisten dengan tuntutan mereka.
Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia bertanya, apa yang Israel sudah sepakati secara detail. Ia lalu mengatakan, Dewan Keamanan PBB seharusnya tidak menyetujui kesepakatan dengan parameter yang samar.
“Kami tidak ingin menghalangi resolusi tersebut hanya karena, sejauh yang kami pahami, resolusi tersebut didukung oleh dunia Arab,” kata Nebenzia kepada dewan.
Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan hadir pada pemungutan suara tersebut, tapi tidak memberikan pidato. Sebaliknya, diplomat senior Israel di PBB Reut Shapir Ben Naftaly mengatakan kepada badan tersebut bahwa tujuan Israel di Gaza selalu jelas.
“Israel berkomitmen terhadap tujuan-tujuan ini: untuk membebaskan semua sandera, untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas dan untuk memastikan bahwa Gaza tidak menimbulkan ancaman bagi Israel di masa depan. Hamas-lah yang mencegah perang ini berakhir. Hamas dan Hamas sendiri,” ujar Naftaly.
Satu-satunya anggota Dewan Keamanan dari jazirah Arab, Aljazair, mendukung resolusi ini karena mereka percaya ini langkah lebih dekat menuju gencatan senjata permanen.
“Ini memberi secercah harapan kepada warga Palestina. Ini saatnya menghentikan pembantaian,” kata Duta Besar Aljazair untuk PBB, Ammar Bendjama dilansir dari VOA, Selasa (11/6).