Manfaatkan Ragi, BRIN Temukan Cara Ciptakan Plastik Biodegradable
Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN tengah melakukan penelitian rekayasa metabolisme ragi untuk memproduksi plastik biodegradable berbasis asam polilaktat (PLA).
Peneliti Pusat Riset Rekayasa Genetika BRIN Radityo Pangestu mengatakan, saat ini plastik di industri masih diproduksi melalui proses gabungan antara fermentasi dan sintesis kimia menggunakan bahan baku berbasis fosil.
Oleh karena itu, untuk menciptakan industri plastik yang berkelanjutan, diperlukan transisi ke komoditas plastik yang biodegradable. Kemudian, menggunakan bahan baku berbasis bio, seperti dari limbah pertanian dan industri, serta diproduksi melalui teknik bioproses, yakni menggunakan bantuan mikroba.
“Inilah yang menjadi fokus penelitian kami, yakni menemukan metode untuk mensintesis plastik biodegradable dari bio-based raw material dengan teknologi bioproses hemat energi dan minim limbah, melalui bantuan mikroorganisme,” kata Radityo, dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (16/6).
Ia menjelaskan, salah satu yeast atau ragi roti yang dikoleksi Indonesia Culture Collection (InaCC) BRIN, yaitu saccharomyces cerevisiae, ternyata menyimpan potensi untuk menghasilkan plastik biodegradable melalui rekayasa genetika.
"Material plastik yang tergolong biodegradable ada dua, yaitu polihidroksi alkanoat (PHA), yang saat ini telah dapat disintesis secara optimal oleh mikroorganisme, dan PLA, yang masuk kategori semi-sintesis,” ujarnya.
PLA menjadi fokus penelitian untuk dapat diproduksi secara keseluruhan oleh mikroorganisme tanpa melibatkan proses sintesis kimia. PLA sendiri, telah banyak diaplikasikan untuk berbagai jenis produk, termasuk alat-alat medis, karena tidak berbahaya bagi tubuh. Contohnya, tissue scaffold, masker, serat fiber, dan popok.
Dengan metode one-step production ini, Radityo meyakini dapat mengonversi bahan baku limbah industri berbasis lignoselulosa menjadi PLA. Caranya, adalah dengan memasukkan beberapa gen bakteri ke dalam genom ragi, di antaranya gen propionat CoA-transferase dan polimerase.
"Jika dilihat, proses dari metode ini jauh lebih singkat dalam mengubah bahan baku menjadi polimer target hanya dalam satu tahap fermentasi pada suhu ruangan. Tentunya lebih efisien dibandingkan reaksi polimerisasi biasa yang membutuhkan suhu di atas 100 derajat celsius dan melibatkan penggunaan katalis logam yang berbahaya bagi lingkungan," kata Radityo.
Menurutnya, hingga kini teknik produksi PLA secara in vivo masih kurang dieksplorasi dibandingkan PHA. Riset-riset yang ada pun masih sangat terfokus pada sistem bakteri. Selain itu, belum ada laporan yang mengeksplorasi produksi PLA berbasis monomer L-laktat (PLLA) secara in vivo.
Melalui riset ini, BRIN berhasil mendesain metabolisme ragi agar dapat memproduksi monomer asam L-laktat maupun polimer. Radityo mengatakan, teknik ini dapat menciptakan keberlanjutan di industri plastik, karena memiliki potensi untuk dapat memproduksi bioplastik yang bukan berasal dari bahan baku berbasis fosil melalui teknologi produksi ramah lingkungan.