Bakau menjadi jenis mangrove yang punya pertalian sejarah dengan Kota Dumai. Pada masa Orde Baru, hutan mangrove yang terletak di Jalan Nelayan Laut Ujung, Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat itu hampir gundul lantaran ditebang untuk keperluan domestik dan industri.
Darwis Mohd Saleh, warga Dumai Barat, bertekad untuk memulihkan kembali salah satu situs budaya di kampung halamannya itu setelah kembali dari perantauan awal reformasi 1998.
Namun, langkahnya tidak mudah karena harus berhadapan dengan perusahaan negara, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I yang ingin mencomot kawasan guna melebarkan dermaga. Berkat kerja kerasnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan areal itu sebagai kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK 903/2016 tentang Kawasan Hutan Riau.
Tak sekadar menjadikan kawasan bakau kembali pulih, Darwis juga mendirikan bank mangrove untuk menjaga ketersediaan bibit pada 2010. Adapun proses persemaian bibit bank mangrove, meliputi propagul, sistem kacang-kacangan, hingga biji-bijian.
“Bank mangrove untuk sertifikasi pengadaan bibit yang selama ini salah dalam menekan deforestasi hutan mangrove di Dumai,” kata Darwis, diberitakan Mongabay, Selasa, 9 Januari 2024.
Bank mangrove menjadi sumber pemasukan bagi Darwis dan kelompok tani hutan (KTH) setempat. Bibit mangrove dijual seharga Rp6.000 per polybag. Lalu hasil penjualannya dibagi untuk anggota kelompok, pengadaan polybag baru, kas kelompok tani dan bank, lalu sisanya untuk konsumsi dan operasional harian.
Hutan mangrove di Dumai Barat ini juga jadi lumbung ekonomi bagi perempuan setempat. Berbagai peluang ekonomi mulai muncul, seperti usaha makanan sampai batik motif mangrove.
Salah satunya adalah Rosnita, pemilik warung di ekowisata hutan mangrove ini yang juga kerap menerima pesanan kue. “Sejak ada Bandar Bakau, hampir tidak pernah sepi pesanan. Dalam satu bulan, ada saja tiga atau empat kali jadwal kunjungan. Sekali datang rombongan,” kata Rosnita.
Penelitian Wahyu N. Wanda, Aras Mulyadi, dan Efriyeldi pada 2019 menunjukkan, potensi ekonomi dari hutan mangrove di Dumai mencapai Rp104,60 miliar.
Angka tersebut berasal dari nilai guna dan non-guna. Total nilai guna sebesar Rp103,710 miliar, dihitung dari nilai guna langsung seperti pemanfaatan kayu bakau, ikan belanak, udang, dan kepiting bakau yang ditaksir mencapai Rp97,25 miliar. Lalu nilai guna tidak langsung sebesar Rp4,61 miliar, serta nilai pilihan rekreasi yang diukur dari besarnya pemanfaatan mangrove sebagai tempat rekreasi sebesar Rp1,83 miliar.
Sementara, total nilai non-guna diproyeksikan sebesar Rp893,44 juta. Ini terdiri atas nilai keberadaan dan nilai pewarisan dihitung berdasarkan ketersediaan membayar WTP (willingness to pay), masing-masing sebanyak Rp670,08 juta dan Rp223,36 juta.
Jika dibandingkan, nilai guna langsung lebih besar dari nilai non-guna. Menurut laporan, hal ini lantaran masyarakat masih menganggap bahwa hutan mangrove perlu dieksploitasi semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Adapun rendahnya nilai non-guna disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya nilai ekonomi sumber daya alam dan lingkungan.
“Hal ini juga diduga karena telah terjadi pergeseran nilai-nilai pelestarian di tingkat masyarakat serta berkurangnya jasa ekosistem yang diberikan oleh hutan mangrove kepada masyarakat sekitar pesisir,” tulis tim riset dalam jurnal Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Kota Dumai Provinsi Riau pada 2019.
Masyarakat Desa Perigi Raja, Kabupaten Indragiri, Riau turut merasakan keuntungan mengelola mangrove. Hal ini diceritakan Aizah Fajriana, Asisten Program Pembangunan Hijau Yayasan Madani Berkelanjutan, saat melakukan lawatan ke Perigi Raja pada awal 2024.
Aizah melihat mangrove berdiri tegak di sepanjang pesisir pantai desa tersebut. Masyarakat yang bertumpu pada mangrove dan kawasan hutannya mampu memproduksi sejumlah komoditas, dari keanekaragaman hewan seperti ikan hingga kepiting bakau, kerajinan, sampai makanan olahan. Mangrove juga melindungi daerah sekitarnya dari abrasi.
“Pengelolaannya masih kental dengan cara tradisional yang melibatkan masyarakat,” kata Aizah melalui wawancara daring dengan Databoks pada Selasa, (4/6/2024).
Kesadaran menjaga mangrove di Desa Perigi Raja sebenarnya tak terbangun begitu saja. Sebelumnya, masyarakat kerap mengeksploitasi dengan cara menjual kayu mangrove tanpa menanamnya kembali. Kontan ikan-ikan, udang, hingga kepiting turut hilang di kawasan tersebut. Setelah merasakan dampaknya, masyarakat dan perangkat desa kini lebih ‘galak’ menjaga mangrove.
Mereka membentuk kelompok pengawasan masyarakat (pokmaswas) untuk melindungi mangrove, tak jarang melakukan patroli penjagaan. Ada juga sanksi yang diberlakukan, yakni setiap satu pohon mangrove yang ditebang, wajib diganti dengan menanam 10 bibit pohon.
Yosi Amelia, Divisi Hutan dan Iklim Madani menyebut, mangrove jelas lebih unggul dari aspek sosial, ekologis, hingga ekonomi bila dibandingkan dengan sawit. Ini terlihat dari jenis sawit yang merupakan tanaman monokultur sehingga tidak ada keanekaragaman hayati yang hidup di dalam perkebunan sawit.
“Keanekaragaman hayati malah tersingkirkan karena adanya perkebunan sawit,” kata Yosi dalam sesi wawancara yang sama.
Sawit berfokus pada tandan buah segar (TBS) yang diolah menjadi dua produk utama, yakni minyak sawit mentah atau biasa disebut Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit yang biasa disebut Palm Kernel Oil (PKO). Ada juga cangkang sawit yang bisa dikembangkan menjadi bahan bakar atau penyimpan panas. Namun bagi Yosi, tidak banyak alternatif penghidupan yang bisa digali dari sawit dibandingkan dengan mangrove.
Bahkan menurut riset GAPKI yang diolah Kementerian Perindustrian, pada 2021 industri perkelapa sawitan dari hulu sampai hilir menghasilkan Rp750 triliun dengan total luas lahan 16,3 juta ha. Artinya, nilai ekonomi industri sawit sebesar Rp46.012.269 ha per tahun.
Sementara itu, data KLHK menunjukkan, Indonesia memiliki kawasan hutan mangrove terluas di dunia. Pada 2023, luasnya mencapai 3,36 juta hektare (ha) atau setara 24% dari total luas mangrove secara global.
Dengan luas sebesar itu, Indonesia berpotensi mendapat tambahan pendapatan lewat perdagangan karbon dari pengembangan ekosistem mangrove. Penjelasan Kementerian Sekretariat Negara pada 2022 menyebut, harga jual karbon dunia berkisar US$5-10 per ton CO2.
Maka dengan luas hutan bakau mencapai sekitar 3 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton, pemerintah diestimasikan mendapat tambahan hampir Rp2.400 triliun dari perdagangan karbon.