PT Indofarma Tbk (INAF) buka suara usai Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta menetapkan mantan Direktur Utama mereka, Arief Pramuhanto sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Direktur Utama Indofarma, Yeliandriani mengatakan perusahaan mendukung proses hukum yang sedang berjalan. Tak hanya itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu berkomitmen untuk menjaga kredibilitas, akuntabilitas, dan transparansi dalam menghadapi kasus ini.

 Yeliandriani menegaskan bahwa proses hukum yang melibatkan mantan Direktur Utama dan dua pejabat lainnya tidak akan mengganggu operasional perusahaan. Indofarma tetap fokus pada rencana penyehatan dan penyelamatan perusahaan.

 “Termasuk restrukturisasi keuangan dan reorientasi bisnis untuk memperkuat fondasi perusahaan,” kata Yeliandriani dalam keterangannya, Jumat (20/9).

Indofarma berkomitmen untuk mendukung Kementerian BUMN dalam menciptakan lingkungan usaha yang bersih dan bebas korupsi. Menteri BUMN, Erick Thohir, kata Yeliandriani, telah menyatakan bahwa tidak ada toleransi terhadap praktik korupsi yang merugikan negara. 

Arief dan dua orang lainnya ditetapkan menjadi tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan Indofarma dan anak perusahaan 2020-2023. 

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Ketiganya diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 371 miliar. 

Mantan Dirut Diduga Manipulasi Laporan Keuangan

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta menetapkan tiga tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan. Ketiga tersangka yang ditetapkan yakni Direktur Utama Indofarma 2019-2023 berinisial AP atau Arief Pramuhanto, kemudian Direktur Indofarma Global Medika (PT IGM) 2020-2023 berinisial GSR, lalu Head of Finance PT IGM 2019-2021 berinisial CSY. 

 Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jakarta Syahron Hasibuan mengatakan AP diduga memanipulasi laporan keuangan Indofarma tahun 2020. Caranya dengan membuat piutang/hutang dan uang muka pembelian produk alkes fiktif sehingga seolah-olah target perusahaan terpenuhi. 

 Kemudian, GSR melakukan penjualan Panbio ke PT Promedik yang merupakan anak perusahaan PT IGM. Padahal PT Promedik tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pembelian sehingga merugikan PT IGM.

GSR juga memerintahkan CSY selaku Head of Finance PT IGM untuk membuat klaim diskon fiktif dari beberapa vendor. CSY juga diperintahkan mencari pendanaan non-perbankan untuk memenuhi operasional Indofarma dan PT IGM serta membentuk unit baru FMCG untuk melakukan transaksi fiktif.

Head of Finance PT. IGM tahun 2019-2021, CSY membuat laporan keuangan PT IGM seolah-olah sehat dengan cara membuat klaim diskon fiktif. Ia bersama dengan Manager Finance Indofarma tahun 2020-2021 berinisial BBE mencari pendanaan non-perbankan dan menitipkan dana ke vendor-vendor yang seolah-olah kesalahan transfer.

Dana yang terkumpul selain digunakan untuk menutupi defisit anggaran juga digunakan untuk kepentingan pribadi CSY.   "Para tersangka telah merugikan negara sejumlah Rp 371 miliar yang saat ini masih dalam penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK RI," kata Syahron dalam keterangannya, Kamis (19/9). 

 Ketiganya diancam pidana Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 Syahron mengatakan, untuk keperluan penyidikan, AP ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Jakarta Pusat, GSR di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, dan CSY di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selama 20 hari kedepan.

Reporter: Nur Hana Putri Nabila