Kinerja DPR 2019-2024 Dinilai Terburuk Sejak 1998, Minim Inisiatif Legislasi

ANTARA FOTO/Fauzan/Spt.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan tanggapan pemerintah saat rapat paripurna ke-4 Masa Persidangan I tahun sidang 2024-2025 di Gedung Nusantara II, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2024).
26/9/2024, 12.13 WIB

Kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 mendapat sejumlah catatan kritis. Produktivitas DPR dalam pembentukan undang-undang selama lima tahun terakhir dinilai sebagai yang terburuk dalam sejarah badan legislatif sejak era reformasi 1998.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyatakan pengesahan rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR pada periode ini lebih banyak difokuskan pada penyelesaian RUU kumulatif terbuka. Padahal pembahasan RUU ini tidak perlu dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan untuk dibahas atau disahkan.

Koordinator Riset Formappi Lucius Karus menjelaskan RUU kumulatif terbuka merupakan RUU yang diusulkan oleh pihak eksternal. Pengusulnya bisa pemerintah untuk mengesahkan ketentuan dan mengubah beberapa pasal tertentu. RUU jenis ini tidak berasal dari inisiatif DPR.

Lucius mencontohkan sejumlah penyelesaian RUU oleh DPR yang datang dari pengajuan pemerintah. Di antaranya RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) dan RUU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Selain itu, juga ada RUU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lucius juga menyoroti RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Lebih jauh, menurut Lucius, DPR juga lebih mengutamakan pengesahan RUU Kementerian Negara dan RUU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang tidak masuk dalam prolegnas. Dia mencatat DPR hanya mengesahkan 26 RUU yang masuk prolegnas selama lima tahun dari total 264 RUU yang masuk dalam prolegnas. 

"DPR mengesahkan begitu banyak RUU kumulatif terbuka. Dalam konteks RUU Prolegnas, jadi hanya 5 RUU saja yang DPR selesaikan dalam setahun.

"Ini memprihatinkan karena mestinya DPR bisa menghasilkan lebih banyak sesuai dengan rencana yang mereka buat," kata Lucius saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (25/9).

Pada kesempatan tersebut, Lucius menjelaskan bahwa idealnya pengesahan RUU kumulatif terbuka hanya mengakomodir sejumlah ketetapan tertentu. Di antaranya RUU APBN, RUU ratifikasi perjanjian internasional, RUU hasil peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dan keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK.

Produk Hukum Kontroversial

Hasil pengesahan sejumlah RUU menjadi instrumen hukum legal oleh Dewan juga dianggap banyak mengandung unsur kontroversi. Ini karena proses pembahasannya dipandang kurang memberikan ruang partisipasi publik.

"DPR kerap menyiasati pembahasan RUU yang sesungguhnya merupakan RUU prioritas. Mereka mau cepat dan mau mengutak-atik 1-2 pasal yang memang diinginkan untuk diubah oleh pihak lain. Dalam hal ini saya kira oleh presiden," ujar Lucius.

Indikasi ihwal adanya intervensi politik dalam proses legislasi berdampak terhadap fungsi lembaga-lembaga negara yang dibentuk oleh UU menjadi lemah. Lucius menyebut, perubahan instrumen hukum yang dilakukan Dewan dapat mengurangi kekuatan atau independensi lembaga-lembaga tersebut.

"Katakanlah MK setelah DPR mengutak-atik 1-2 pasal saja terkait dengan usia pensiun hakim MK, sejak saat itu MK sudah di bawah kendali DPR," ujar Lucius. "DPR punya kendali atas MK, misalnya bisa mengganti hakimnya tanpa melalui prosedur".

Formappi juga menyinggung polemik revisi UU TNI-Polri dan revisi UU MK yang kemudian diwariskan ke DPR periode berikutnya. Rencana untuk mengubah dua UU ini sebelumnya mendapat sentimen negatif dari publik.

Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago berpendapat bahwa revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) perlu dikaji lebih lanjut.

Revisi UU Polri nantinya akan mengubah ketentuan batas usia pensiun dari yang semula 58 menjadi 60 tahun. Adapun anggota polisi dengan keahlian khusus akan pensiun pada usia 65 tahun.

Dia berpendapat revisi masa usia pensiun di tubuh Polri berpotensi dapat menghambat proses regenerasi di tubuh personel. Pengesahan revisi UU itu dapat memicu risiko bahwa generasi muda mungkin sulit untuk mencapai posisi strategis.

"Hal negatifnya juga akan berdampak terhadap regenerasi yang begitu panjang karena nantinya jabatan strategis sulit dicapai oleh beberapa kader muda." ujar Arifki saat dihubungi lewat sambungan telepon, Rabu (25/6).

Pengamat Kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, revisi UU Polri selayaknya lebih mengutamakan kepentingan publik ketimbang institusi kepolisian itu sendiri.

Daripada memperpanjang batas usia pensiun, Bambang menyebut ada opsi rekrut Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), pegawai ASN maupun pegawai pemerintah non ASN untuk menangani tugas fungsional maupun administrasi di tubuh Polri. Ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 20 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.

Menurut Bambang UU ASN mengamanatkan Pegawai ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. "Semisal revisi itu mengatur soal penambahan personel itu wajar ya, tapi kalau untuk menambah batas usia pensiun, itu tidak wajar," ujar Bambang.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu