Pakar Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Keliru, Kebijakan Tak Bisa Dipidana

Fauza Syahputra|Katadata
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (kiri) menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Penulis: Ade Rosman
31/10/2024, 12.39 WIB

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai penetapan tersangka Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong oleh Kejaksaan Agung tidak tepat dan tidak berdasar. Fickar menilai Tom tak bisa dipidana hanya berdasarkan dugaan kesalahan dalam pengambilan kebijakan. 

Menurut Fickar seorang pengambil kebijakan dimungkinkan mengambil sikap yang berisiko berkaitan dengan jabatannya. Karena itu, ia menilai penetapan Tom sebagai tersangka bisa menjadi preseden dan membuat orang tak berani untuk menjadi pejabat publik. 

Fickar mengatakan, kebijakan sejatinya tak bisa dipidanakan karena dibuat pejabat publik dengan dasar wewenang yang dipegangnya. "Kecuali kalau bisa dibuktikan pejabat publik itu mendapatkan sesuatu materi yang bernilai ekonomis, ini namanya penyalahgunaan jabatan, gratifikasi, dan sebagainya," kata Fickar saat dihubungi, Kamis (31/10).

Dalam perkara importasi gula yang tengah diusut Kejaksaan, Tom ditetapkan sebagai tersangka karena memberikan izin impor gula. Menurut Fickar, pemberian izin impor oleh Tom tak dapat menjadi dasar penetapan tersangka dirinya. Adapun adanya dugaan tidak berjalannya koordinasi dalam pengambilan keputusan itu, menurut Fickar bukan berada di ranah hukum pidana. 

Fickar menyebut penetapan Tom Lembong sebagai tersangka sebagai bentuk kriminalisasi. “Jangan-jangan karena Tom pernah menjadi tim sukses dari salah satu calon dalam kontestasi presiden. Jika ingin dipersoalkan mengapa baru sekarang, mengapa tidak 8 tahun yang lalu?" kata dia.

Lebih jauh ia mengatakan, kriminalisasi juga ditunjukkan dengan tak diperlakukan tindakan yang sama pada Menteri Perdagangan sebelumnya dengan kebijakan yang sama. Padahal menurut Fickar, kebijakan yang diambil Tom Lembong saat menjadi Mendag tak jauh berbeda dengan mendag lainnya. 

"Kalau Tom bisa disebut korupsi karena merugikan negara ketika membolehkan perusahaan swasta yang impor gula dan bukan BUMN harus dilihat lagi kerugiannya apa? itu tafsir Kejaksaan belum ada buktinya," kata Fickar.

Ia pun menyoroti tak adanya reaksi dari Presiden Joko Widodo kala itu dan juga Menteri BUMN yang mempermasalahkan kebijakan impor gula tersebut. Padahal menurut dia, bila memang kebijakan Tom saat itu dinilai keliru seharusnya ada gejolak pada saat itu. 

“Artinya Presiden dan Menteri BUMN juga tidak mempersoalkan kebijakan itu, bahkan Presiden Jokowi pada waktu berkuasa menyatakan kebijakan tidak boleh dikriminalisasi," kata Fickar. 

Kejagung sebelumnya menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar mengungkapkan, selain Tom Lembong, Kejagung juga menetapkan Direktur Pengembangan bisnis PT PPI periode 2015-2016 Charles Sitorus  sebagai tersangka.

"Karena telah memenuhi alat bukti bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi,” kata Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, (29/10).

Qohar menjelaskan, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian yang dilaksanakan 15 mei 2015 silam telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu melakukan impor. Tetapi, pada tahun yang sama Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton gula kristal mentah kepada PT AP yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih. 

Kerugian negara ditaksir senilai Rp 400 miliar. Tom Lembong menjabat sebagai Mendag pada periode 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016, yakni di periode pertama Presiden Joko Widodo.

Reporter: Ade Rosman