Pengacara eks Menteri Perdagangan Tom Lembong, Ar i Amir Yusuf, berencana mengajak pakar datang dalam praperadilan kasus dugaan korupsi impor gula. Pakar ini bakal menjelaskan kondisi produksi gula nasional dan kebijakan impor.
“Tentunya ahli keuangan, ahli administrasi negara, dan ahli hukum akan kami hadirkan dalam praperadilan,” ujar Ari usai mendaftar sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (5/11).
Ia tidak menyebut siapa nama ahli yang akan diundang tersebut. Mereka juga masih menunggu jadwal sidang perdana praperadilan ini. “(Permohonan praperadilan) sudah diterima, kami menunggu panggilan. Nanti kan biasanya pengadilan memanggil kami untuk memulai sidang,” ujarnya.
Ari memaparkan kebijakan impor gula karena harga gula Indonesia naik, meski stoknya surplus. Hal ini yang nanti bakal dijelaskan oleh para ahli. Namun, Ari menegaskan kebijakan Tom saat menjadi menteri perdagangan tidak diambil secara pribadi, dan sudah dikoordinasikan dengan kementerian lain.
Sehingga dia menilai janggal langkah kejaksaan yang menjerat Tom dengan hukum pidana, sementara subjek hukum adalah pribadi ataupun korporasi.
“Jadi, kalau kebijakan seorang menteri itu dipidana, siapa yang melakukan pidananya? Karena mekanisme pengambilan keputusan ada prosedur, ada rapatnya,” ujarnya.
Merujuk data Kementerian Pertanian, pemerintah selalu terkendala dalam memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu di atas angka produksi nasional. Pada 2012 jumlah produksi gula mencapai 2.662.127 dan jumlah konsumsi sebesar 2.613.272 ton. Namun komposisi ini berubah pada 2013 saat produksi gula nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Tahun | Produksi Gula (ton) | Kebutuhan Gula Konsumsi (ton) |
2013 | 2.551.024 | 2.642.125 |
2014 | 2.579.173 | 2.841.897 |
2015 | 2,497 juta | 3,2 juta |
Tingginya kebutuhan dibanding produksi ini pula yang membuat Saleh Husin yang menjabat Menteri Perindustrian saat itu mengatakan akan melonggarkan impor. Itu pun baru dihitung dari kebutuhan gula konsumsi masyarakat di luar kebutuhan gula industri. Rendahnya kemampuan produksi gula lokal ini dibenarkan oleh Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori. Ia menyebut ketergantungan Indonesia pada gula impor sudah menjadi masalah akut.
“Kita nett importer itu sudah puluhan tahun, sepertinya sudah lebih setengah abad,” ujar Khudori kepada Katadata.co.id, Jumat (1/11).
Menurut Khudori pada periode 2015-2016 impor gula memang dibutuhkan. Saat itu stok gula pada awal 2016 hanya 816.000 ton. Angka tersebut setara dengan kebutuhan gula nasional selama 3,42 bulan atau habis sebelum Mei 2016. Pada saat yang sama, tidak ada kegiatan produksi gula di dalam negeri.
Situasi inilah yang menurut Khudori bisa jadi membuat Tom memutuskan untuk mengimpor 105.000 ton gula kristal mentah yang rencananya diubah menjadi Gula Kristal Putih (GKP). Akan tetapi, Khudori menyampaikan tidak ada pabrik gula yang dapat mengolah seluruh GKM tersebut dengan cepat. Sebab, tidak ada pabrik penggilingan tebu yang beroperasi hingga awal Juni. Sementara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang ditunjuk Tom saat itu bukan BUMN penggilingan tebu.
"Dugaan saya, Tom Lembong disalahkan karena menunjuk PPI yang bukan BUMN produsen gula. Saya menduga langkah itu ditempuh Tom Lembong karena tidak ada pabrik gula BUMN yang dalam proses giling," ujarnya.
Menurut Khudori dalam situasi seperti itu, Tom seharusnya langsung mengimpor Gula Kristal Putih dari luar negeri pada 2016. Alasannya, minimnya pasokan gula di pasar membuat harga gula yang dinikmati konsumen tinggi dan memuncak hingga Rp 16.266 per kilogram pada Juli 2016. Padahal saat itu, harga eceran tertinggi GKP adalah Rp 13.000 per kg.
Khudori menilai minimnya pasokan gula setiap awal tahun memberikan keuntungan yang menggiurkan bagi pihak yang terlibat impor dan produksi gula. Ia menduga kasus tersebut tidak eksklusif terjadi pada kepemimpinan Tom Lembong di Kementerian Perdagangan.
"Oleh karena itu, sebaiknya Kejaksaan Agung memeriksa semua kasus yang pernah ada, bukan hanya kasus Tom Lembong," katanya.