Menkum Supratman Klarifikasi Soal Polemik Denda Damai Koruptor: Untuk Komparasi

ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/rwa.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (kanan) didampingi Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) memberikan klarifikasi terkait denda damai untuk pengampunan koruptor di Gedung Kementerian Hukum, Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Penulis: Ade Rosman
27/12/2024, 20.01 WIB

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengklarifikasi pernyataan soal pemberian denda damai untuk koruptor yang sebelumnya ia sampaikan. Pernyataan Supratman itu mendapat kritik dari banyak kalangan karena dinilai salah. 

Supratman mengatakan, pernyataannya terkait dana damai dalam Undang-Undang Kejaksaan yang sebelumnya ia sebutkan hanya untuk perbandingan atau komparasi regulasi. Pemerintah kata dia masih mencari formula mengenai penyelesaian perkara pidana yang merugikan keuangan negara di luar pengadilan.

Ia mengatakan, komparasi diperlukan lantaran Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maupun Kejaksaan berbeda dengan tindak pidana ekonomi. Pernyataan itu diucapkan Supratman menindaklanjuti wacana Presiden Prabowo Subianto ihwal memaafkan koruptor bila mengembalikan kerugian negara.

"Itu hanya compare bahwa ada aturan yang mengambil, tetapi bukan berarti Presiden akan menempuh itu. Sama sekali tidak,” kata Supratman dalam konferensi pers di Kantor Kemenkum, Jumat (27/12). 

Lebih jauh ia mengatakan presiden tak memiliki kewenangan menyangkut soal denda damai. “Itu adalah kewenangan yang diberikan kepada Jaksa Agung," kata dia.

Sebelumnya, wacana denda damai bagi pelaku koruptor menjadi polemik di tengah masyarakat. Supratman mengatakan, dana damai dapat diterapkan selain pengampunan dari Presiden. Ia menyebut, Kejaksaan Agung memiliki kewenangan terkait denda damai karena Undang-Undang tentang Kejaksaan memungkinkannya.

"Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu," kata Supratman dalam keterangan tertulis, Senin (23/12) lalu.

Pernyataan Supratman ini menjadi sorotan publik lantaran dinilai memberi jalan keluar dengan mudah bagi pelaku korupsi untuk mengakhiri hukuman. Pernyataan ini juga dinilai menjadi bentuk tidak tegasnya pemerintah dalam memberantas korupsi karena akan menghilangkan efek jera bagi koruptor. 

Menanggapi polemik tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar memberi penjelasan. Ia menyatakan denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi (tipikor). 

Harli menuturkan, penerapan denda damai tertera dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI. Dalam pasal tersebut, tertulis bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan kewenangan menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pasal itu, denda damai hanya diterapkan untuk undang-undang sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi, semisal tindak pidana kepabeanan dan cukai. Harli mengatakan jika kasus yang ditangani berkaitan dengan tindak pidana korupsi, maka penanganannya mengacu pada UU Tipikor.  

"Kalau dari aspek teknis yuridis, tipikor tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 35 ayat (1) huruf k kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi," kata Harli

Selain itu, Harli mengatakan denda damai hanya untuk perkara yang gelah mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung.


Reporter: Ade Rosman