Baleg DPR Buka Opsi Ambil Alih UU Perampasan Aset, Soroti Potensi Tumpang Tindih
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Sturman Panjaitan mengatakan tak menutup kemungkinan legislatif akan mengambil alih usul inisiatif atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset. UU perampasan aset merupakan salah satu dari tuntutan massa aksi dalam rangkaian aksi demonstrasi yang terjadi sejak Senin (25/8) yang disebut dalam 17+8 tuntutan.
Menurut Sturman, saat ini RUU Perampasan Aset masih berstatus usul inisiatif dari pemerintah. Selain itu, RUU Perampasan Aset juga sudah tercatat sebagai RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2024-2029.
"Itu masih usulan pemerintah, tapi nggak apa-apa, siapapun mengusulkan oke-oke saja," kata Sturman di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.
Menurut dia, jika menjadi usulan DPR, maka legislatif harus membuat dulu rancangannya serta menggelar sejumlah rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk menampung pandangan dari para ahli, pakar hukum, ekonomi, dan pihak lain. Ia berharap RUU perampasan aset nantinya tidak tumpang tindih dengan undang-undang lainnya.
Lebih jauh Sturman mengatakan draft UU perampasan aset yang saat ini sudah diusulkan oleh pemerintah berpotensi bertabrakan dengan RUU lain seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Atas alasan itu, ia mengatakan DPR perlu melakukan kajian mendalam.
"Nggak ada yang nggak mungkin, bisa saja, tapi sementara ini masih diusulkan pemerintah, nanti kita Baleg akan melihat lagi," kata dia.
Adapun saat ini RUU Perampasan Aset menjadi salah satu tuntutan dari publik untuk segera disahkan. Dalam Prolegnas, RUU tersebut memiliki nomenklatur RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana.
Soal potensi tumpang tindih sebelumnya juga pernah diungkap oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2007 2011 Chandra M Hamzah. Dalam wawancara yang ditayangkan ulang channel youtube Total Politik, Chandra mengatakan sebagian dari poin perampasan aset yang diinginkan dalam RUU yang tengah bergulir sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menurut Chandra, di dalam Pasal 39 KUHAP disebutkan bahwa aset yang dirampas adalah aset yang merupakan alat yang digunakan untuk tindak pidana. Aset juga bisa diartikan sebagai hasil dari tindak pidana seperti rumah dan tanah, dan aset yang berasal dari tindakan menghalangi proses hukum.
“Aset yang ada kaitannya dengan tindak pidana juga bisa disita, Pasal 39 KUHAP,” ujar Chandra.
Ketentuan lain mengenai perampasan aset menurut dia juga termuat dalam Pasal 19 UU Tipikor. Bahkan ia menyebut UU anti korupsi ini mengatur lebih jauh dan lebih maju seperti adanya ruang penyitaan untuk aset yang ada kaitan dengan tindak pidana korupsi termasuk aset yang menggantikanya.
Atas alasan itu Chandra mengingatkan agar penyusunan RUU perampasan aset perlu dibahas dengan seksama untuk menghindari tumpang tindih. Selain lewat RUU perampasan aset ia juga mengingatkan agar penegak hukum bisa memaksimalkan undang undang yang sudah ada seperti KUHAP dan UU Tipikor dalam penegakan hukum korupsi.
Komitmen Pemerintah
Pada tempat terpisah, penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto bersikap responsif terhadap aspirasi para demonstran. Namun Wiranto mengatakan tuntutan demonstran tak bisa dipenuhi sekaligus.
"Sebagian apa yang diminta oleh para pendemo, oleh masyarakat, tentu selalu didengar oleh Presiden dan Presiden juga tentu sedapat mungkin telah mendengarkan itu, kemudian memenuhi apa yang diminta," kata Wiranto saat memenuhi panggilan Presiden di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis.
Wiranto menambahkan, sejumlah petinggi negara telah membicarakan langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah dalam merespons dinamika yang berkembang. Ia memastikan Prabowo memperhatikan harapan rakyat dan berupaya menindaklanjutinya secara proporsional.
Gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang bergulir sejak akhir Agustus 2025 menyuarakan “17+8 Tuntutan Rakyat” dengan dua tenggat waktu berbeda, jangka pendek satu minggu (hingga 5 September 2025) dan jangka panjang satu tahun (hingga 31 Agustus 2026).
Dalam jangka pendek, demonstran menuntut pemerintah segera membentuk tim investigasi independen atas kasus kekerasan aparat, menghentikan keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, membebaskan demonstran yang ditahan, serta menindak tegas anggota aparat yang melakukan pelanggaran HAM.
Selain itu, mereka menyoroti hak istimewa DPR, dengan desakan agar kenaikan gaji dan fasilitas baru dibatalkan, harta kekayaan anggota DPR diselidiki KPK, serta Badan Kehormatan DPR memproses anggota yang melecehkan aspirasi rakyat.
Di sisi ketenagakerjaan, massa aksi meminta pemerintah menjamin upah layak, mencegah PHK massal, dan membuka dialog dengan serikat buruh. TNI dan Polri pun diminta menegaskan komitmen tidak mencampuri ruang sipil.
Untuk jangka panjang, para demonstran menuntut reformasi struktural, mencakup pembersihan DPR, reformasi partai politik, reformasi perpajakan yang lebih adil, pengesahan UU Perampasan Aset Koruptor, serta penguatan KPK, UU Tipikor, Komnas HAM, dan lembaga pengawas independen. Massa aksi mendesak reformasi kepolisian agar lebih profesional dan humanis, serta peninjauan ulang kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan.