Pelemahan Rupiah Berpotensi Kembali Kerek Harga Jual Pakan Ternak

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Seorang pekerja sedang megontrol ayam usia sehari (day old chick) di sebuah peternakan
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
4/7/2018, 19.09 WIB

Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) memprediksi harga jual pakan ternak berpotensi kembali melonjak jika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Sebab,  beberapa komponen utama pakan ternak masih harus diimpor dari negara lain.

Salah satu bahan pencampur pakan ternak yang masih harus didapat dari impor adalah bungkil kedelai. Ketua Umum GPMT Desianto Utomo menyatakan komposisi bungkil kedelai sebesar 25% dalam volume pakan ayam.

"Komponen bahan baku impor menyumbang sekitar 60% terhadap ongkos produksi pakan,” kata Desianto di Jakarta, Rabu (4/7).

Desianto mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang terus menerus akan menekan industri pakan.

Menurutnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini yang  telah menembus lebih dari Rp 14.00o telah melampaui batas toleransi  asumsi nilai tukar yang  dipatok pengusaha sebesar Rp 13.500. 

(Baca : Penurunan Harga Jagung, Dorong Kinerja Emiten Pakan di Kuartal I)

Dengan pelemahan rupiah tersebut pun  berpotensi mengerek harga jual pakan sebesar Rp 600 per kilogram (kg) dari harga jual pakan  ternak saat ini yang tercatat sebesar Rp 6 ribu hingga Rp 7 ribu per kg.

Sebagai salah satu upaya mengurangi tekanan biaya  produksi, GPMT meminta pemerintah mengurangi bea masuk bungkil kedelai yang sekarang mencapai 5%. Desianto mengungkapkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha pakan akan membantu menahan kenaikan harga bahan baku dan harga jual.

Sebab, sejak awal tahun hingga saat ini  harga jual pakan ternak sudah naik sekitar 6% seiring  fluktuasi nilai tukar rupiah. Namun, pada kuartal kedua 2018, kenaikan harga jual berhasil ditekan sekitar Rp 300 karena produksi  jagung dalam negeri sedang cukup tinggi saat itu. 

“Sebelum Lebaran harga sedang bagus jadi kami bisa adaptasi untuk beli pakan ternak,” ujarnya.

(Baca : Modernisasi Kandang, Japfa Kerek Belanja Modal Jadi Rp 2,5 Triliun)

Sementara pada semester II ini,  produksi jagung diprediksi hanya sekitar 35% sampai 40% terhadap total produksi jagung nasional.  Produksi yang rendah, berpotensi meningkatkan harga jual jagung. Karenanya, keseluruhan faktorditambah dengan pelemahan nilai tukar akan diantisipasi pengusaha dengan menyesuaikan harga jual pakan .  

Mespon permintaan  GPMT, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita menuturkan akan mengkaji kemungkinan pengurangan bea masuk bungkil kedelai. 

“Kami bisa lakukan mekanisme itu tapi lihat situasi dan kondisi kalau harganya terus melonjak,” kata Ketut.

Di sisi lain, dia juga mengusulkan agar peternak bisa mensubstitusi bungkil kedelai  sebagai bahan pencapur pakan. Menurutnya, sorgum bisa digunakan untuk membantu mengurangi penggunaan bungkil kedelai.

Meski begitu, Chief Executive Officer PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk Thomas Effendy bungkil kedelai tidak bisa digantikan begitu saja oleh sorgum. Menurutnya, sorgum hanya berisi karbohidrat untuk ternak. “Kalau bungkil kedelai itu protein,” kata Thomas.