Produktivitas Rendah, Impor Biji Kakao Melejit

Aditya Pradana Putra | Antara Foto
Produksi kakao nasional saat ini masih cukup rendah, meski permintaannya meningkat.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
9/2/2018, 15.25 WIB

Produktivitas kakao nasional sepanjang tahun lalu menurun. Akibatnya impor biji kakao, khususnya yang diperuntukkan sebagai bahan baku industri menjadi naik signifikan hingga 233%.

Ketua Dewan Kakao Soetanto Abdullah menyatakan sepanjang 2017 Indonesia tercatat mengimpor sekitar 200 ribu ton biji kakao. Selain meningkat signifikan, impor kakao pada 2017 juga telah melampaui angka impor terbesar yang pernah terjadi di 2015 sebesar 110 juta ton. Sedangkan per tahun, rata-rata impor kakao untuk bahan baku industri hanya sekitar 60 juta ton per tahun.

“Kami harus meningkatkan produksi. Karena jika tidak nanti impor semakin banyak,” kata Soetanto kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/2).

(Baca : Jokowi Minta Sinarmas Tanam Kopi, Jangan Hanya Sawit)

Peningkatan produktifitas menjadi penting seiring dengan tingkat kebutuhannya juga semakin tinggi. Ia menuturkan, saat ini industri memerlukan sekitar 800 ribu ton kakao. Sedangkan kapasitas produksi kakao nasional hanya sekitar 400 ribu ton, menurut data Dewan Kakao atau sekitar 600 ribu ton menurut data Kementerian Pertanian. Berkaca pada kondusi tersebut maka tak heran jika impor semakin banyak.

Tak hanya sampai di situ, tekanan juga kian berat karena harga jual yang semakin rendah seiring pasokan yang meningkat pesat seperti dari Pantai Gading misalnya sebagai salah satu produsen kakao dunia. Saat ini, harga kakao di pasar global tercatat stabil di kisaran US$ 1.900 hingga US$ 2.000 per ton

Soetanto mengungkapkan, salah satu cara menggenjot produksi kakao adalah melakukan peremajaan tanaman. Misalnya, dengan menalokasikan minimal 5% dari luas lahan 1,2 juta hektare mendapat program peremajaan setiap tahunnya.

(Baca : Konsumsi Kopi Naik Tajam, Produksinya Stagnan) 

Recana peremajaan tanaman kakao sebenarnya sudah ditangkap oleh pemerintah lewat program Gerakan Nasional (Gernas), kendati implementasinya belum opimal. Dalam program itu, sekitar 70 ribu hektare lahan dilakukan peremajaan dalam jangka waktu 3 tahun.

Selain itu, guna meningkatkan kemampuan usaha petani kakao, Kementerian Pertanian bersama dengan Cocoa Sustainability Partnership (CSP) melakukan inisiatif pembuatan Kurikulum Nasional dan Modul Pelatihan Budi Daya Berkelanjutan dan Pascapanen Kakao. Tujuannya untuk menjadi pedoman pelatihan pengelolaan bagi petani kakao.

Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menjelaskan proses penyuluhan berdasarkan kurikulum bakal meningkatkan produktivitas kakao. “Harapan kami, perlahan bisa terlihat hasilnya,” jelas Musdhalifah.

Saat ini, produktivitas per hektare kakao hanya mencapai 0,4 ton per hektare. Peningkatannya diharapkan mencapai 0,7 ton per hektare. Target akhirnya, 1 hektare lahan bisa mendapatkan 1 ton produksi.

Kepala Pusat Pelatihan Kementerian Pertanian Widi Hardjono menjelaskan petani membutuhkan penyuluhan pemikirannya terlalu simpel dalam pengelolaan. Kompetensi yang ada dalam kurikulum bakal memicu peningkatan produktivitas petani. “Penyuluhan salah satu unsur pembangunan ekonomi di wilayah pertanian,” jelas Widi.

Reporter: Michael Reily