Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menilai berakhirnya kerja sama antara Grup Sriwijaya Air dan Grup Garuda Indonesia dapat berdampak positif bagi persaingan usaha industri penerbangan. Pecah kongsi kedua maskapai ini pun dinilai tak akan mengganggu operasional Sriwijaya Air.
"Pemisahan Garuda dan Sriwijaya lebih positif, artinya terjadi persaingan harga yang baik," kata Budi Karya dalam rapat dengan Komisi V DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (25/11).
Selain harga tiket yang lebih bersaing, pihaknya juga lebih mudah melakukan pemeriksaan terhadap maskapai jika terjadi masalah. "Katakan kalau Sriwijaya ada masalah, maka Sriwijaya yang kami periksa. Tidak berkait Garuda," katanya
Kementerian Perhubungan telah melakukan uji kelayakan terhadap jajaran direksi Sriwijaya Air, terutama untuk posisi direktur operasional. Budi memastikan jajaran manajemen Sriwijaya Air saat ini profesional.
(Baca: Kementerian BUMN: Sriwijaya Air Harus Restrukturisasi dan Bayar Utang)
Sementara terkait pemeliharaan pesawat atau maintanance dan ground handling, Kementerian Perhubungan telah memastikan kedua kegiatan tersebut dapat dilakukan Sriwijaya Air. "Sudah diklarifikasi dan kami menyaksikan kinerjanya. Sriwijaya dapat melakukan kegiatan tersebut," kata dia.
Di sisi lain, Kementerian Perhubungan masih menagih laporan keuangan terbaru Sriwijaya Air untuk mengetahui kondisi perusahaan tersebut. "Sriwijaya belum menyampaikan laporan keuangan akhir tahun lalu," kata dia.
Grup Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air telah resmi mengakhiri kerja sama yang dibentuk pada akhir tahun lalu. Padahal, kerja sama dibuat sebagai langkah restrukturisasi Sriwijaya Air agar mampu membayar utang kepada beberapa perusahaan pelat merah, termasuk Grup Garuda.
Setelah Sriwijaya Air berada di bawah pengelolaan Garuda Indonesia Grup, pangsa pasar maskapai BUMN ini meningkat dari 33% menjadi 46% seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
Namun, Kuasa Hukum Sriwijaya Air Yusril Ihza Mahendra sebelumnya mengatakan kerja sama tersebut justru merugikan kliennya. Kerja sama tersebut dinilai membuat operasional Sriwijaya Air menjadi tak efisien sehingga berakibat pada utang perusahaan yang semakin membengkak.
Menurut dia, Garuda secara sepihak menerapkan biaya manajemen sebesar 5% dan pembagian keuntungan sebesar 65% yang dihitung dari pendapatan kotor. Di sisi lain, biaya operasional menjadi semakin mahal lantaran beberapa kebijakan.
(Baca: Kerja Sama dengan Garuda, Yusril: Utang Sriwijaya Air Malah Membengkak)
Kebijakan yang dimaksud seperti perawatan pesawat yang semula dikerjakan Sriwijaya kini dikerjakan Garuda Maintenance Facility Aero Asia. Selain itu, kru pesawat yang semula ditempatkan di asrama milik Sriwijaya Air, dipindahkan ke hotel sesuai kebijakan Garuda.
Yusril juga menyoroti kebijakan penempatan manajemen Garuda di Sriwijaya Air. Seiring kebijakan ini, frekuensi penerbangan pada sejumlah rute-rute gemuk Sriwijaya Air dikurangi. Di sisi lain, Citilink masuk dan mengisi rute-rute tersebut.
"Seperti ke Bangka Belitung, kampung Sriwijaya Air. Biasanya ada 14 penerbangan dengan tujuh penerbangan diisi Sriwijaya Air, sekarang tinggal dua dan diisi Citilink. Jadi sebenarnya ingin menyelamatkan Sriwijaya Air atau Garuda Indonesia?" kata dia beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Edwin Hidayat Abdullah yang sebelumnya menjabatat sebagai Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN beberapa waktu lalu mengatakan restrukturisasi Sriwijaya Air tetap harus berjalan meski kerja sama dengan Grup Garuda Indonesia tak diteruskan. "Kalau tidak bisa deal tetap restrukturisasi dan bayar ke BUMN," ujar dia saat ditemui di Jakarta (12/11).