Kementerian Perhubungan akan membahas batasan waktu dan persentase pemberian diskon bagi penumpang ojek online. Dalam pembahasannya, Kementerian mengundang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Direktur Jenderal Perhubugan Darat Budi Setiyadi mengatakan, berdasarkan tanggapan KPPU, pemberian diskon yang diberlakukan ojek online bisa masuk dalam predatory pricing. Predatory pricing merupakan strategi untuk menjual produk dengan harga yang sangat rendah, dengan tujuan menyingkirkan pesaing.
"Jadi selain harga lebih murah ada persaingan harga yang tidak sehat. Kalau ada persaingan yang tidak sehat harus diselesaikan dengan undang-undang yang berlaku," kata dia, di Jakarta, Jumat (17/5) malam.
Menurut dia, agar persaingan tetap sehat, pemberian diskon diberlakukan dengan batasan waktu tertentu. Saat ini pemerintah belum mengatur mengenai batasan diskon tersebut.
(Baca: Grab: Pendapatan Mitra Pengemudi Naik hingga 30% Setelah Tarif Naik)
Kementerian saat ini baru mengatur mengenai biaya jasa batas bawah dan atas, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 348 Tahun 2019. Aturan itu diharapkan dapat menjadi payung hukum dan perlindungan bagi operasional ojek online maupun masyarakat.
Ada dua pertimbangan Kementerian dalam menyusun tarif ojek online, yakni biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung adalah pengeluaran pengemudi ojek sehari-hari, seperti bensin. Sedangkan yang tidak langsung meliputi pungutan aplikator, seperti Gojek dan Grab. Biasanya, biaya tidak langsung ini sebesar 20% dari nilai transaksi.
Kebijakan tarif ojek online ini diuji coba sejak 1 hingga 17 Mei 2019. Lima kota yang mengimplementasikannya adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Setelah masa uji coba selesai, pemerintah akan melakukan evaluasi. Segala bentuk masukan yang disampaikan ke kementeriannya akan menjadi bahan evaluasi.
Saat uji coba itu berlangsung, Kementerian juga menyebar survei dalam bentuk kuisioner di lima kota tersebut. Kementerian ingin mengetahui ekspektasi dan daya beli masyarakat serta keinginan pengemudi soal tariff baru.
Menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, penyebaran survei dilakukan karena pemerintah membutuhkan justifikasi terkait tarif. "Selain masukan dari aplikator dan pengemudi, survei ini bisa digunakan untuk mengevaluasi tarif ojek online," ujar Budi.
(Baca: Gojek Sebut Permintaan Layanan Turun Usai Kenaikan Tarif Ojek Online)