Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) sepatu kulit sukses mengekspor produknya hingga ke empat benua, yakni Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Pemilik dan pendiri Chavelier, Egar Putra Bahtera mengungkapkan tiga strategi utama memasarkan produknya hingga ke luar negeri, yakni dengan memperkuat riset, kualitas dan kolaborasi.
Membuka usaha sejak mahasiswa, Egar mengatakan bisnis sepatunya memiliki sejumlah tantangan, salah satunya harga jual. Pasalnya, sepatu kulit lokal yang dijualnya merupakan produk premium.
Pada awal berdiri di 2011 sepatunya sudah dibanderol di kisaran harga Rp 900 ribu sampai Rp 5 juta. Produk termahalnya ini berbahan kulit kuda yang diimpor dari Italia. Pesaingnya sendiri saat itu cukup banyak terutama dari brand besar.
"Sulit mengubah persepsi masyarakt untuk mau memakai sepatu berharga di atas Rp 1 juta. Tapi kami berhasil persepsi masyarakat, brand lokal punya kualitas baik, " kata Egar dari diskusi Festival Ide Bisnis yang diadakan Detik.com, Kamis (22/10).
Dia pun menargetkan merek sepatunya bisa tumbuh secara organik, dikenal dalam jangka panjang dan dekat dengan konsumen, bukan sekedar produk yang viral sesaat di media sosial.
Caranya, dengan meningkatkan kualitas sepatu, memperdalam riset pasar dan menjaga komunikasi dengan pelanggan. "Lewat riset, kami jadi tahu siapa marketnya yakni pecinta sepatu, lalu kami mempelajari dan masuk ke komunitas-komunitas. Dengarkan apa yang mereka mau, lalu kami menyediakan," katanya.
Ekspor Sepatu
Berkolaborasi dengan gerai retail, membuka jalan ekspor sepatu Chevalier. Egar mengatakan, pada 2012 pihaknya sempat berkolaborasi dengan The Goods Dept. untuk memajang dan menjual sepatu.
Tak lama berselang, datang tawaran dari seorang mitra untuk memasarkan produknya di Singapura. Lalu, pada 2013-2014, tawaran ekspor lintas benua juga datang dari Australia dan berlanjut ke Amerika Serikat (AS).
Pasar ini berhasil dirambah berkat pemasaran produk yang meluas dari sosial media, pameran fesyen serta tawaran kerja sama group buying AS dan Australia.
"Produk sepatu kami telah dikirim ke empat benua dengan beberapa kota seperti Tokyo, Seoul, Singapura, Amsterdam, Los Angles, New York, Seoul," katanya.
Penjualan sepatu semakin berkembang, karena banyak pembelinya terdahulu merasa puas dan memberi testimoni positif sehingga menarik pembeli lain untuk mencoba.
Meski begitu, pandemi corona juga diakui ikut berdampak terhadap ekspor sepatunya akibat pembatasa atau karantina wilayah (lockdown) di negara pemesan.
Selain Cavelier, saat ini Egar pun sukses mengembangkan empat brand lokal lainnya, yakni Cannes, Socia, Monoka, dan bisnis terbarunya di dunia interior, yaitu Etraworks.
UMKM sepatu yang juga sukses di pasaran yakni Brodo Footwear. Diirintis pada 2010, oleh CEO Yukka Harlanda dan temannya, Putera Dwi Karunia yang saat itu masih berstatus mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kini, jumlah pegawainya sudah mencapai 130 orang.
Yukka bercerita, dalam membuat produk, Brodo fokus pada dua hal yakni fungsi dan emosional. Dari sisi fungsi, ia menggunakan bahan-bahan berkualitas supaya nyaman dipakai sehari-hari oleh pengguna. Dengan begitu, harga yang dibanderol sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. “Kami harus pastikan, itu harga dan kualitas terbaik yang kami berikan,” ujarnya.
Lalu, dari sisi emosional, ia selalu menyematkan narasi di setiap produk-produknya. Misalnya, untuk produk ventura parang jati dibuat untuk melestarikan budaya Indonesia dengan bahan baku yang diperoleh di dalam negeri.
“Untungnya, laki-laki itu kalau suka sama satu produk, tidak akan pindah ke merek yang lain. Perilaku itu membantu kami,” ujar dia. Pada mulanya, produk Brodo dipasarkan lewat media sosial seperti Kaskus, Facebook, dan Blackberry Messenger.
Baru setahun kemudian, Brodo mulai memasukkan produknya di perusahaan retail The Goods Dept. dan beberapa outlet distro di Jakarta dan Bandung. Kini, Brodo sudah memiliki situs sendiri. Selain itu, Brodo menggandeng e-commerce seperti Shopee untuk memasarkan produknya.
Brodo memperluas pasar ke luar negeri yakni Vietnam dan Filipina. Sebab, ia mencatat pesanan dari kedua negara itu cukup besar. Selain itu, konsumen asal Jepang juga banyak memesan produk Brodo.
Ekspor alas kaki dan sepatu sempat terganggu selama pandemi corona. Survei Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menunjukkan, permasalahan pasar ekspor industri alas kaki saat ini karena diterapkannya lockdown di sejumlah negara tujuan utama ekspor. Sementara untuk industri orientasi pasar domestik, permasalahannya adalah sepi pemesanan.
Hal tersebut lantaran buyer (pemilik merek lokal) membatalkan pemesanan dan meminta penundaan pengiriman karena adanya pembatasan sosial berskala besar (PSSB). Sebagai informasi, survei ini dilakukan secara internal terhadap perusahaan yang tergabung sebagai anggota Aprisindo.