Cek Data: Anies Janji Turunkan Rasio Utang Jadi 30%, Bisa Tercapai?

Antara
Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar mendaftar sebagai capres dan cawapres di KPU (19/10)
Penulis: Reza Pahlevi
10/11/2023, 13.54 WIB

Rasio utang Indonesia sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengalami tren kenaikan. Dari 24,7% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2014 menjadi 38,7% pada 2022. Hal ini menjadi perhatian pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Jika terpilih, mereka menjanjikan rasio utang akan turun menjadi 30%. Mungkinkah ini tercapai?

Kontroversi

Dalam visi dan misinya, pasangan Anies dan Muhaimin menjanjikan pengelolaan utang bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan fiskal. Rasio utang terhadap PDB ditargetkan menjadi 30% pada 2029.

Mereka berjanji memperbaiki pengelolaan utang pemerintah dengan mengoptimalkan komposisi jangka waktu, denominasi mata uang, dan sumber utang. Proses penerbitan surat berharga negara (SBN) pun dibuat terencana, kompetitif, dan transparan guna memperoleh suku bunga terendah.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, butuh kerja ekstra untuk mencapai target rasio utang tersebut. Ini terutama dengan menghemat belanja negara, khususnya belanja operasional dan belanja infrastruktur.

“Kalau mau 30% kan berarti IKN di-cancel, kereta cepat tidak jadi sampai Surabaya, banyak mega proyek era Jokowi harus ditunda dulu, terutama yang belum financial closing,” kata Bhima dikutip dari Tempo, pada 23 Oktober 2023.

Selain itu, menurut dia, Anies dan Muhaimin perlu meningkatkan rasio pajak minimal 15% untuk mencapai rasio utang lebih rendah. Renegosiasi utang secara bertahap juga harus dilakukan.

Faktanya

Rasio utang adalah perbandingan total utang pemerintah terhadap PDB suatu negara. Tinggi rendahnya rasio ini membantu menunjukkan kemampuan negara untuk membayar utangnya.

Rasio utang yang rendah membuat suatu negara cenderung lebih aman dari ancaman gagal membayar utang atau default. Lembaga pemeringkat kredit Fitch Ratings mencatat ada lima negara yang default pada 2023.

Kelima negara tersebut adalah Belarusia, Ghana, Lebanon, Sri Lanka, dan Zambia. Kecuali Belarusia, empat negara lain memiliki rasio utang lebih dari 90% pada 2022. Lebanon yang tertinggi yaitu 283,2%. Belarusia dinyatakan default karena mereka kesulitan membayar utang di tengah sanksi akibat perang Rusia-Ukraina.

Data anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN) per September 2023 menunjukkan rasio utang pemerintah tercatat sebesar 37,95% dari PDB. Sementara, data Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat rasio utang Indonesia sebesar 39,03% pada 2023.

Rasio utang ini mengalami peningkatan sejak pandemi terjadi seiring defisit anggaran yang membengkak. Sebelum pandemi, rasio utang pemerintah berada di sekitar angka 30%. Pada awal pemerintahan Jokowi, rasio utang bahkan sempat berada di level 24,7% pada 2014.

Meski begitu, rasio utang Indonesia saat ini dapat dibilang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di atas. Rasio utang Indonesia juga di bawah rata-rata rasio utang negara-negara berkembang yang sebesar 64,2%. Rasio utang ini juga masih lebih rendah dari batas maksimal 60% yang diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Mengapa Perlu Turun Menjadi 30%?

Meski rasio utang masih di bawah batas maksimal, ruang fiskal belanja pemerintah pusat menyempit selama era pemerintahan Joko Widodo. Ini terlihat dari belanja modal yang porsinya terhadap total belanja pemerintah pusat yang menurun.

Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan, irigasi, dan jaringan. Belanja ini untuk memenuhi sarana dan prasarana baik untuk tugas pemerintahan maupun fasilitas publik.

Pada 2015, belanja modal senilai Rp 215,4 triliun memang sempat mencakup 18,2% dari total belanja pemerintah pusat. Namun, porsi belanja modal terhadap total belanja ini terus turun meski nilainya meningkat. Pada 2022, belanja modal hanya mencakup 10,55% dari total belanja. 

Di sisi lain, belanja terikat yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan pembayaran bunga utang porsinya konsisten di atas 50% total belanja selama pemerintahan Jokowi. Ini belum memperhitungkan nilai subsidi yang juga mempersempit ruang belanja modal.

Utang pemerintah yang terus meningkat pun membuat kewajiban pembayaran bunga utang terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2015, pembayaran bunga utang tercatat sebesar Rp 156 triliun, kemudian naik menjadi Rp 386,3 triliun pada 2022.

Rasio utang memang dapat dikatakan aman. Namun, jika tidak dikendalikan, utang yang terus meningkat akan terus mempersempit kemampuan belanja modal pemerintah pusat.

Perlu Peningkatan Rasio Pajak Signifikan

IMF memproyeksikan rasio utang pemerintah belum akan turun signifikan pada 2028. Rasio utang diproyeksikan hanya turun menjadi 37,2% dari 39% pada 2023. 

Proyeksi IMF ini didasari kebijakan fiskal yang netral di masa depan, kebijakan pajak dan perubahan administrasi moderat, dan pertumbuhan belanja modal sejalan dengan ruang fiskal yang ada.

Kata kuncinya di atas adalah kebijakan pajak yang moderat. Perlu ada perubahan kebijakan pajak yang signifikan untuk mengurangi rasio utang Indonesia. Meningkatkan pajak sembari mengurangi utang berarti menambah ruang fiskal pemerintah pusat.

Anies – Muhaimin sendiri menargetkan dapat meningkatkan rasio pajak terhadap PDB menjadi 13% - 16% pada 2029. Meski begitu, ini akan menjadi tantangan berat jika melihat tren sebelumnya. 

Jokowi sebenarnya sempat menargetkan rasio pajak 16% ketika baru terpilih sebagai presiden pada 2014. Dua periode berlalu, target ini tidak tercapai. Rasio pajak bahkan turun dari 10,8% pada 2014 menjadi 10,4% pada 2022.

Rasio pajak Indonesia rendah ketika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan bahkan Timor Leste. Perbedaan semakin jauh ketika dibandingkan dengan negara-negara maju Asia Pasifik seperti Jepang, Korea, dan Australia.

Pasangan calon Anies-Muhaimin mengusulkan adanya Badan Penerimaan Negara yang bertanggung jawab langsung ke presiden untuk memperbaiki rasio pajak. Badan ini akan menggabungkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) yang lepas dari Kementerian Keuangan.

Lagi-lagi, ini bukan ide baru. Jokowi juga pernah mengkaji pemisahan DJP dan DJBC dari Kemenkeu pada 2014. Namun, ide ini juga tidak terwujud hingga tahun kesembilan Jokowi memimpin. Anies perlu menjabarkan rencana konkret untuk bisa mewujudkannya dalam lima tahun.

Administrasi memang menjadi salah satu persoalan yang dihadapi DJP untuk meningkatkan rasio pajak. Rencana strategis (renstra) DJP mencatat hanya ada satu pegawai pajak untuk 7.742 penduduk Indonesia. Rasio ini lebih rendah dari Malaysia yang rasionya satu banding 3.229 dan Singapura yang rasionya satu banding 2.845. 

Meski begitu, membuat Badan Penerimaan Negara juga tidak menjamin adanya perbaikan dalam hal kapasitas pegawai pajak ini. Peningkatan jumlah pegawai pajak juga tidak dicantumkan dalam visi-misi Anies-Muhaimin. 

Penelitian mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dkk. (2020) menyebut perubahan administrasi pajak memang dapat secara signifikan meningkatkan penerimaan pajak. Namun, tawaran solusi penelitian tersebut bukan mengubah struktur DJP.

Penelitian Chatib Basri menawarkan solusi perubahan administrasi untuk meningkatkan penerimaan pajak perusahaan. Perubahan ini dalam bentuk memindahkan pembayaran pajak perusahaan besar di daerah ke kantor pelayanan pajak (KPP) madya khusus.

KPP madya khusus dengan jumlah pegawai pajak yang lebih banyak dapat meningkatkan pendapatan pajak perusahaan lebih dari dua kali lipat. Perubahan administrasi ini setara dengan meningkatkan tarif pajak terhadap perusahaan-perusahaan tersebut hingga 8%.

Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia yang bergantung komoditas seperti tambang dan pertanian, serta dominasi UMKM berpengaruh terhadap rendahnya rasio pajak. Ketergantungan komoditas membuat penerimaan pajak sensitif terhadap fluktuasi harga komoditas.  

Pertanian yang menyumbang 12,8% terhadap PDB pada 2019 tercatat hanya berkontribusi terhadap pajak sebesar 1,9%. Ini karena sebagian besar petani memiliki pendapatan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang sebesar Rp 54 juta per tahun.

Lalu, dominasi UMKM berpengaruh terhadap penerimaan pajak karena sektor ini mendapat fasilitas pajak secara luas. Ini termasuk pemberlakuan tarif pajak penghasilan (PPh) khusus sebesar 0,5% dari penghasilan bruto. Sebagai catatan, 99% pelaku usaha Indonesia berstatus UMKM.

Alasan-alasan ini menunjukkan peningkatan rasio pajak tidak serta-merta dengan membuat lembaga baru. Perlu ada perubahan struktural dalam ekonomi dan administrasi perpajakan Indonesia. 

Referensi

Tempo. 23 Oktober 2023. “Anies Baswedan Ingin Tekan Rasio Utang di Bawah 30 Persen, Ekonom: Bisa jika Mega Proyek Jokowi Ditunda” (Akses 1 November 2023)

Anies Baswedan & Abdul Muhaimin Iskandar. 2023. Visi, Misi & Program Kerja: Indonesia Adil Makmur untuk Semua. (Akses 3 November 2023)

Fitch Ratings. 29 Maret 2023. “Sovereign Defaults at Record High”. (Akses 3 November 2023)

International Monetary Fund. 2023. World Economic Outlook (October 2023). (Akses 2 November 2023)

Kementerian Keuangan. 2023. Belanja Pemerintah Pusat. (Akses 6 November 2023)

Kementerian Keuangan. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. (Akses 6 November 2023)

Kementerian Keuangan. 2020. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak 2020-2024. (Akses 6 November 2023)

---------------

Jika Anda memiliki pertanyaan atau informasi yang ingin kami periksa datanya, sampaikan melalui email: cekdata@katadata.co.id.