Cek Data: Akar Masalah Mahalnya UKT di PTN

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Dua mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar aksi unjuk rasa dengan membawa baju dansa di depan Gedung Kemendikbudristek, Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Penulis: Reza Pahlevi
12/6/2024, 07.39 WIB

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim membatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pada tahun ini. Pembatalan dilakukan setelah muncul polemik yang menyebabkan protes berbagai kalangan. Namun, kenaikan masih mungkin terjadi pada tahun depan.

Kenaikan UKT dinilai tidak terelakkan terjadi di PTN, terutama yang sudah menyandang status badan hukum (PTN-BH). Hal ini lantaran PTN-BH tidak lagi dapat mengandalkan dana dari APBN untuk kegiatan operasionalnya. 

Kontroversi

Seiring dengan keputusan pembatalan kenaikan UKT, Nadiem meminta para rektor PTN untuk mengusulkan kembali besaran UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) tahun akademik 2024/ 2025. Menurut Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Abdul Haris, para rektor memiliki tenggat hingga 5 Juni 2024 untuk pengajuan kembali UKT dan IPI. 

Adapun besaran UKT yang diajukan tanpa ada kenaikan dari UKT tahun akademik 2023/ 2024. Kemudian, PTN mengikuti ketentuan batas maksimal yang diatur dalam Peraturan Mendikbudristek  nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek.

Meski dibatalkan, PTN masih dapat menaikkan UKT pada tahun depan. Namun, kenaikan tetap harus disesuaikan dengan asas keadilan dan kewajaran. 

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengapresiasi pembatalan kenaikan UKT. Namun, dia mengatakan, Kemendikbudristek tetap perlu melakukan evaluasi kebijakan pendidikan tinggi, terutama status PTN Badan Hukum (PTN-BH).

Menurutnya, langkah pemerintah mendorong PTN menjadi badan hukum agar dapat menggalang dana pihak ketiga merupakan langkah ideal. Namun, dia berharap perguruan tinggi tidak menggantungkan pendapatan yang berasal dari mahasiswa, melainkan dengan menciptakan ekosistem usaha.

“Jika ekosistem ini tidak terbentuk, pengelola PTN ujungnya menjadikan mahasiswa sebagai objek usaha,” katanya di Senayan, Jakarta pada Selasa, 28 Mei.

Faktanya

Dalam APBN 2024, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp660,8 triliun. Namun anggaran ini tidak sepenuhnya dikelola Kemendikbudristek. Sebagian besar, yakni Rp346,6 triliun atau 52% merupakan dana transfer ke daerah dan dana desa. Dana transfer tersebut terkait pengelolaan pendidikan dasar wajib 12 tahun. 

Kemendikbudristek hanya memperoleh anggaran sebesar Rp98,99 triliun. Sementara dana untuk PTN diberikan melalui Bantuan Operasional PTN (BOPTN) sebesar Rp7,29 triliun atau 7,4% dari total anggaran Kemendikbudristek. Adapun jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan alokasinya hanya 1,1%. Alokasi BOPTN ini mengalami kenaikan 13,6% dibandingkan alokasi 2023 sebesar Rp6,42 triliun.

Mengutip Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi nomor 58 tahun 2019, BOPTN adalah bantuan pemerintah yang bersumber dari APBN. Bantuan digunakan untuk membiayai kekurangan biaya operasional akibat batasan sumbangan pendidikan di PTN. Dana BOPTN dialokasikan untuk 125 PTN di bawah Kemendikbudristek, baik untuk akademik maupun vokasi (politeknik).

Buku Statistik Pendidikan Tinggi 2022 mencatat, jumlah mahasiswa terdaftar di 125 PTN mencapai 3,38 juta orang. Artinya jika dirata-rata, BOPTN menyubsidi Rp2,16 juta per mahasiswa terdaftar. 

Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Tjitjik Srie Tjahjandarie sempat memaparkan, saat ini BOPTN hanya mampu menutup sekitar 30% biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi di PTN.  

“Yang 70 persennya berharap dari peran serta masyarakat, prinsip gotong royong melalui pendanaan pendidikan yaitu UKT maupun IPI,” kata Tjitjik dikutip dari Antara, 16 Mei 2024.

Anggaran pendidikan tinggi yang terbatas ini membuat PTN harus kreatif mencari sumber pendapatan dari pihak ketiga. Pemerintah memberikan keleluasaan PTN untuk mencari sumber pendapatan tersebut dengan mengubah status beberapa PTN menjadi badan hukum (PTN-BH). Saat ini berdasarkan Permendikbud nomor 4 tahun 2020 terdapat 21 PTN berstatus badan hukum.  

Kebijakan PTN-BH

Kebijakan pemerintah mengubah status PTN berawal sejak 1999 melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Melalui peraturan tersebut, pemerintah mengubah status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). 

Perubahan status bertujuan agar PTN memiliki kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara. Dengan menjadi BHMN, maka PTN akan memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangan. Sepanjang 2000 hingga 2006, ada tujuh PTN yang berubah status menjadi BHMN, yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair).

Adapun istilah PTN-BH muncul setelah terbitnya Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. PTN-BH dapat mengumpulkan sumber dana selain dari APBN dan biaya pendidikan, baik UKT maupun IPI. Sumber dana selain APBN ini mencakup hibah atau sumbangan, pengelolaan dana abadi, pengelolaan kekayaan PTN-BH, dan lain-lain.

Selanjutnya, Permendikbud nomor 88 tahun 2014 mengatur teknis perubahan status PTN menjadi badan hukum. Ini termasuk persyaratan dan prosedur perubahan status. Pada 2020, Permendikbud nomor 4 tahun 2020 terbit untuk mengubah beberapa syarat untuk perubahan status menjadi PTN-BH.

Misalnya, persyaratan PTN-BH dalam UU 12/2012 mengatur PTN harus memiliki akreditasi unggul dan 80% program studi terakreditasi unggul. Permendikbud 4/2020 mengubah persyaratan ini menjadi hanya membutuhkan 60% program studi terakreditasi unggul.

Aturan tersebut membuat perubahan status PTN menjadi badan hukum lebih mudah. Sebelum Permendikbud nomor 4 tahun 2020 terbit, ada 11 PTN-BH yang ditetapkan Kemendikbud. Setelah terbit, jumlah PTN-BH bertambah menjadi 21.

Kontribusi APBN di PTN-BH Terus Berkurang

Berdasarkan Permendikbud nomor 4 tahun 2020 pasal 2 ayat (4), PTN-BH wajib memiliki kemampuan menggalang dana selain dari biaya mahasiswa. Ini sekaligus persyaratan sebuah PTN menjadi PTN-BH dari sisi kelayakan finansial.

Meski begitu, kemampuan ini seharusnya tidak mengurangi penerimaan yang berasal dari APBN. Saat Permendikbud 4/2020 terbit, Mendikbudristek Nadiem Makarim pun memastikan tidak ada pengurangan bantuan dari pemerintah ketika menjadi PTN-BH.

“Bagi yang mau berubah menjadi PTN BH, tidak ada pengurangan subsidi dari pemerintah sehingga tidak ada kerugian dari sisi finansialnya,” kata Nadiem pada 2020 lalu.

Namun kenyataannya menunjukkan sebaliknya. Laporan keuangan tiga PTN-BH, yakni UI, UGM, dan ITB pendapatan yang berasal dari APBN mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir.

Katadata.co.id memilih ketiga PTN ini sebagai contoh karena merupakan tiga universitas terbaik di Indonesia menurut World University Ranking (WUR) 2024. Ketiga PTN juga memiliki laporan keuangan hingga sepuluh tahun ke belakang, kecuali ITB yang hanya sampai 2015. Ini membantu melihat tren pendanaannya dalam jangka panjang.

Kontribusi APBN dalam pendapatan UI sempat mencapai Rp619 miliar pada 2017. Kontribusi tersebut turun menjadi Rp449,9 miliar pada 2023. Kontribusi negara di UGM pun sempat tercatat Rp790,3 miliar pada 2015, tetapi turun menjadi Rp629 miliar pada 2023. Di ITB, bantuan pendanaan pendidikan dari APBN turun, dari Rp652,2 miliar pada 2018 menjadi Rp464,6 miliar pada 2023.

Di sisi lain, beban operasional ketiga PTN-BH ini terus naik dari tahun ke tahun. Rata-rata pertumbuhan tahunan beban sebelum pajak UI mencapai 6,8% selama 2014 – 2023. Di UGM, rata-rata pertumbuhan beban ini mencapai 7,16%. Rata-rata pertumbuhan beban di ITB mencapai 11,5% pada 2015 – 2023.

Dengan bantuan pemerintah yang terus turun sementara beban mengalami kenaikan, maka PTN-BH mesti menggenjot pendapatan dari biaya pendidikan dan pendapatan pihak ketiga. Biaya pendidikan adalah uang yang didapat PTN-BH untuk penyelenggaraan pendidikan dari mahasiswa. Sementara, pendapatan pihak ketiga bisa berasal dari hibah/sumbangan dan pengelolaan bisnis universitas.

Terus berkurangnya kontribusi negara untuk PTN-BH menyebabkan kenaikan UKT tidak terhindarkan. Apalagi, pemerintah sudah memberi sinyal kenaikan tetap akan ada pada tahun depan, meski dilakukan dengan lebih hati-hati. Pemerintah perlu meningkatkan kontribusinya terhadap PTN-BH jika ingin membuat UKT terjangkau untuk masyarakat.

Referensi

DPR RI. 21 Mei 2024. “Komisi X DPR RI Rapat Kerja dengan Mendikbudristek RI” (Akses 22 Mei 2024)

JDIH. 1999. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. (Akses 3 Juni 2024)

JDIH. 2012. Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. (Akses 3 Juni 2024)

JDIH. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 88 Tahun 2014 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. (Akses 4 Juni 2024)

JDIH. 2020. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 88 Tahun 2014 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. (Akses 4 Juni 2024)

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 2020. “Berbadan Hukum, PTN Lebih Mandiri dan Dinamis” (Akses 4 Juni 2024)

Institut Teknologi Bandung. Laporan Keuangan ITB Audited (Lengkap) (Akses 24 Mei 2024)

Universitas Indonesia. Laporan Keuangan Universitas Indonesia (Akses 24 Mei 2024

Universitas Gadjah Mada. Laporan Keuangan (Akses 24 Mei 2024)

ANTARA. 16 Mei 2024. “Kemendikbudristek minta kampus optimalkan aset tambah pendapatan” (Akses 10 Juni 2024)