Cek Data: Didukung Prabowo Subianto, Berapa Kemampuan Sawit Serap Emisi Karbon?

Unsplah
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit.
15/1/2025, 13.36 WIB

Presiden Prabowo Subianto berencana menambah bukaan lahan perkebunan sawit. Menurutnya, perluasan lahan sawit dibutuhkan demi menangkap tingginya permintaan sawit dari sejumlah pasar luar negeri.

“Banyak negara yang berharap dari Indonesia. Banyak negara takut tidak dapat kelapa sawit,” kata Prabowo saat memberikan arahan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada Senin, 30 Desember 2024.

Kontroversi

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Prabowo juga melontarkan pernyataan kontroversial. Ia, misalnya, mengatakan Indonesia tidak perlu takut melakukan deforestasi demi sawit. Sebab, kata dia, sawit juga pohon. 

“Ada daunnya. Ia menyerap karbon dioksida,” ujar Prabowo. “Kita juga harus tambah kelapa sawit. Enggak usah takut membahayakan, deforestasi. Jadi, para bupati, gubernur, pejabat, tentara, dan polisi, jagalah kelapa sawit kita.”

Faktanya

Pernyataan Prabowo baru separuh benar. Pohon sawit memang bisa menyerap karbon dioksida (CO2). Namun daya serap emisi karbon kebun sawit tetap rendah jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki hutan. 

Menurut publikasi Inventarisasi Hutan Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015, hutan rata-rata memiliki daya serap hingga 109,93 ton CO2 per hektare per tahun. 

Hutan mangrove primer, hutan lahan kering primer, dan hutan tanaman merupakan tiga jenis hutan dengan daya serap tertinggi, yakni lebih dari 100 ton CO2 per hektare. Hutan mangrove primer bahkan nyaris menyentuh 200 ton per hektare. Adapun hutan rawa sekunder menjadi yang paling rendah serapannya. 

Hutan primer adalah hutan yang terbentuk secara alami dan belum tersentuh tangan manusia. Sedangkan hutan sekunder adalah hutan yang terbentuk kembali setelah rusak, baik secara alamiah seperti bencana alam maupun akibat aktivitas manusia seperti pembalakan atau kebakaran. 

Di sisi lain, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut kebun sawit memiliki daya serap 64,5 ton CO2. Asosiasi itu, di dalam situs resminya, mengutip studi Henson (1999) bertajuk Comparative Ecophysiology of Palm Oil and Tropical Rainforest.

Namun, sebuah studi di jurnal Agriculture yang terbit Juli 2024 lalu merinci lebih lanjut klaim Henson tersebut. Studi berjudul “Carbon Sequestration by Tropical Trees and Crops: A Case Study of Oil Palm” itu menyatakan perkebunan sawit memiliki daya serap bervariasi. 

Misalnya, perkebunan yang relatif baru, di bawah 10 tahun, hanya memiliki daya serap rendah, yakni sekitar 12 hingga 17 ton per hektare. Serapan yang tinggi akan dimiliki perkebunan berumur lebih dari satu dekade, yakni 49 ton per hektare. 

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menambahkan aktivitas perkebunan sawit justru menghasilkan emisi karbon, baik yang berasal dari operasional perkebunan sawit maupun ketika perubahan simpanan karbon. 

Menurut Surambo, alih fungsi lahan menjadi sawit dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbeda pada setiap karakteristik lahan. “Meskipun tanaman sawit memiliki potensi penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,” ujarnya, Jumat, 10 Januari 2025. 

Sementara itu, Policy Strategist Cerah, Sartika Nur Shalati, menilai pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut sawit tidak akan menyebabkan deforestasi keliru. Ini karena sawit bersifat monokultur yang akan menghancurkan fungsi hutan sebagai ekosistem alami bagi keanekaragaman hayati, merusak tanah, dan sistem hidrologi. “Deforestasi tidak bisa hanya dimaknai dengan hilangnya hutan,” ujarnya. 

Badan Pusat Statistik mencatat pembukaan lahan perkebunan sawit naik signifikan seiring waktu. Pada 2001, Indonesia hanya memiliki 4,71 juta hektare kebun sawit. Pada 2023, angkanya menjadi 15,92 juta hektare, atau melonjak 238%. Jumlah itu nyaris satu setengah kali luas Pulau Jawa. 

Adapun sektor swasta mendominasi kepemilikan lahan sawit di Indonesia. Pada 2023, jumlah lahan yang dimiliki swasta mencapai 8,6 juta hektare. Sedangkan negara hanya memiliki 580 ribu hektare

Sebaliknya, luas hutan Indonesia pun mengalami pengurangan dari tahun ke tahun. Pada 2022, berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia mencapai 102,53 juta hektare. Angka itu berkurang sekitar 1,33 juta hektare atau turun 0,7% dibanding 2018.

Selama 2018-2022, areal hutan yang hilang paling banyak berada di Kalimantan. Dalam periode itu, pengurangan luas hutan di sana mencapai 526 ribu hektare. Luas hutan juga berkurang di semua pulau besar lainnya, dengan rincian seperti terlihat pada grafik.

Menurut BPS, dalam laporan “Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2018-2022”, luas hutan berkurang karena berbagai faktor, yaitu peristiwa alam, penebangan hutan, dan reklasifikasi area hutan.

Referensi:

Badan Pusat Statistik. 2023. Statistik Kelapa Sawit Indonesia (diakses 13 Januari 2025)

Databoks. 2025. Hutan Indonesia Berkurang 1,3 Juta Hektare dalam 5 Tahun (diakses 13 Januari 2025)

Murphy, Denis. 2024. Carbon Sequestration by Tropical Trees and Crops: A Case Study of Oil Palm (diakses 13 Januari 2025)

GAPKI. 2024. Perkebunan Sawit: Penyerap Karbon Neto Atau Penyumbang Emisi? (diakses 13 Januari 2025)

Kementerian Pertanian. 2025. Buku Statistik Perkebunan 2023-2025 Jilid I (diakses 13 Januari 2025)

Kementerian LHK. 2015. Buku Kegiatan Serapan dan Emisi Karbon (diakses 13 Januari 2025)