BI Sebut Empat Risiko di Balik Lonjakan Transaksi dan Dominasi Fintech
Bank Indonesia (BI) mencatat, penggunaan layanan teknologi finansial (fintech) pembayaran terus meningkat. Ini kemudian menciptakan empat tantangan yaitu perbankan bayangan (shadow banking), risiko keamanan, kepentingan nasional, dan akses internet.
Deputi Gubernur BI Sugeng menilai, fintech pembayaran kian menggeser peran perbankan bagi masyarakat dalam bertransaksi. "Pada 2015, bank mendominasi. Sejak akhir 2019 perkembangan non-bank membuat dominasinya tersisih," katanya dalam diskusi virtual dan peluncuran Indonesia Fintech Society (IFSoc), Senin (9/11).
Berdasarkan data BI, transaksi uang elektronik menggunakan fintech terus tumbuh sejak akhir 2019. Persentase penggunaan OVO untuk uang elektronik mencapai 20% mengalahkan Bank Mandiri dan GoPay masing-masing 19%.
Sedangkan DANA dan BCA 10%, BRI 6,3%, LinkAja 5,8%, ShopeePay 3,7%, BNI 1,3%, serta Doku 1,2%.
Sugeng mencatat, perbankan masih berfokus pada layanan kartu kredit dan debit dibandingkan uang elektronik. Jika layanan itu digabungkan, BCA memang masih mendominasi yakni 23%.
Disusul oleh Bank Mandiri dan BRI 16%, OVO 9%, GoPay 8,4%, BNI 8%, DANA 4,6%, LinkAja 2,5%, ShopeePay 1,6%, serta CIMB Niaga 0,9%.
Padahal, BI mencatat bahwa rata-rata nilai transaksi uang elektronik selama Januari-Juli atau pandemi corona mencapai Rp 16,7 triliun per bulan. Nilainya meningkat 59% secara tahunan (year on year/yoy).
Pada tahun ini, nilai transaksi tertinggi terjadi pada April Rp 17,5 triliun. Ini seiring dengan mulai diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.
Seiring dengan peningkatan tersebut, Sugeng menilai ada empat tantangan yang mungkin timbul. Pertama, perbankan bayangan. "Saat masuk sektor digital harus antisipasi risiko, yang paling utama terkait shadow banking," katanya.
Shadow banking adalah kegiatan menghimpun dana, investasi, dan pinjaman yang tidak diawasi oleh otoritas. Kegiatan ini sudah dijegal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi dan POJK Nomor 3 Tahun 2018 terkait inovasi keuangan digital.
Kedua, terkait risiko keamanan. Apalagi, data Financial Service Information Security Sharing and Analysis Center pada kuartal II, Indonesia masuk 10 besar negara yang rentan terkena serangan siber.
Sedangkan konsumen tidak menyadari hal itu. Hasil survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) menunjukkan, 57,8% pengguna internet merasa data pribadinya aman.
Dari sisi pengalaman pengguna saat terhubung ke internet, 66,4% merasa gadgetnya tidak pernah terinfeksi virus seperti malware maupun ransomware. Hanya 9% yang mengaku pernah terinfeksi di laptop, 3,3% di personal computer (PC), 8,7% di smartphone, dan 0,1% di tablet.
Tantangan ketiga, kepentingan nasional sulit terpenuhi. "Keuangan digital yang sifatnya tanpa batas atau borderless seharusnya bisa diantisipasi," kata Sugeng.
Ia mencontohkan, transaksi di e-commerce dibanjiri oleh produk impor. Selain itu, maraknya layanan pembayaran digital asing di Indonesia.
Terakhir, akses internet yang menjadi infrastruktur dasar sistem pembayaran digital. "Namun, banyak wilayah yang belum terjangkau sinyal atau blank spot," kata Sugeng.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), masih ada 12.548 desa yang belum terakses internet generasi keempat (4G). Rinciannya, 9.113 desa berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. Sedangkan 3.435 lainnya di luar wilayah itu.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, meningkatnya penggunaan layanan berbasis internet karena kenyamanan yang ditawarkan. Ini harus diikuti dengan regulasi dan pengawasan yang baik.
"Indonesia harus meningkatkan perlindungan konsumen, penguatan pengawasan, dan juga peraturan yang harus disiapkan dalam konteks pengawasan itu," katanya.