Target Meluncur 2023, Proyek Satelit Satria Butuh Investasi Rp 8,1 T

ANTARA FOTO/REUTERS/China Daily /hp/cf
Ilustrasi, roket pembawa satelit. Pembangunan satelit Satria membutuhkan investasi Rp 8,1 triliun dan ditargetkan rampung 2023.
3/9/2020, 21.21 WIB

Pemerintah akhirnya siap membangun Satelit Republik Indonesia (Satria) dengan menggandeng perusahan antariksa asal Prancis, Thales Alenia Space (TAS). Satelit yang ditargetkan rampung 2023 ini disebut membutuhkan investasi sebesar US$ 500 juta atau setara dengan 8,1 triliun (asumsi kurs Rp 14.847) untuk pembangunannya.

Direktur utama PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) PSN Adi Rahman Adiwoso menjabarkan besaran investasi yang digelontorkan untuk membangun satelit Satria ini didapatkan dari dua sumber, yaitu pinjaman dan modal sendiri. Secara perinci, sebesar US$ 425 juta didapatkan dari pinjaman sindikasi kredit dari Perancis dan multilateral yang berkedudukan di Beijing.

"Sisanya sebesar US$ 125 juta adalah modal kami sendiri atau ekuitas," kata Adi dalam video conference, Kamis (3/9).

Pinjaman sindikasi untuk pendanaan proyek satelit Satria ini berasal dari dua bank, yakni Banque publique d'investissement (BPI) dari Prancis dan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) asal Tiongkok.

Ia menjelaskan alasan PSN mengambil fasilitas kredit ekspor untuk mendanai pembangunan satelit Satria adalah karena bunganya jauh lebih rendah dari bunga pembiayaan komersil. Selain itu, jangka pengembaliannya juga panjang yakni 12 tahun setelah satelit beroperasi.

Terkait dengan pemilihan mitra untuk membangun satelit Satria, Adi menyebut pelaksanaan tendernya dilakukan secara transparan dan pemilihan TAS telah melalui berbagai pertimbangan.

"Thales memberikan banyak hal yang kami butuhkan, terutama soal keyakinan bisa beroperasi tahun 2023, itu menjadi alasan kami yakin pembuatan satelit ini bisa tepat waktu nantinya," ujarnya.

Sementara Direktur Utama Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo Anang Latif mengatakan pihaknya bakal mengirimkan perwakilan untuk memantau proses konstruksi secara langsung ke lokasi pembangunan agar target operasional bisa berjalan tepat waktu.

Pemantauan yang rutin ini menurutnya perlu, karena lokasi keseluruhan proyek yang terpencar di dua negara yakni Perancis dan Amerika Serikat (AS). Untuk pembuatan satelit dilakukan di pabrik TAS di Perancis. Sementara roket Falcon 9-5500 yang akan digunakan untuk peluncuran dibuat oleh Space-X, perusahaan asal AS.

"Tantangannya adalah saat integrasi, di mana satelit akan diluncurkan di Cape Canaveral, Florida. Juga saat perjalanan mengirimkan dari Prancis menuju lokasi tersebut di AS," kata Anang.

Dengan pemantauan ketat dari timnya, ia optimistis proses pembangunan hingga peluncuran satelit Satria bisa berjalan sesuai target yang ditetapkan yakni 2023.

Sebagai informasi, satelit Satria ini memiliki keistimewaan yaitu merupakan High Throughput Satellite (HTS) dengan kapasitas 150 giga byte per detik (Gbps). Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan kapasitas yang dimiliki satelit Satria ini sekitar tiga kali lipat dari sembilan satelit yang saat ini dimanfaatkan di Indonesia.

Saat ini Indonesia memanfaatkan lima satelit nasional dengan kapasitas sekitar 30 Gbps dan 4 satelit asing yang memiliki kapasitas 20 Gbps.

Ia menjelaskan bahwa proyek satelit ini nantinya akan mampu menghadirkan akses wifi gratis di 150.000 titik layanan publik di seluruh Tanah Air, di mana setiap titik layanan akan tersedia kapasitas sebesar 1 mega byte per detik (Mbps).

Ratusan ribu titik itu meliputi 93.900 titik sekolah/pesantren, 47.900 titik kantor desa/kelurahan/kantor pemerintahan daerah, 3.700 titik fasilitas kesehatan dan 4.500 titik layanan publik lainnya.

Reporter: Cindy Mutia Annur