Apple Digugat Epic Games, Potensi Ubah Ekosistem Aplikasi Global

ANTARA FOTO/REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo/AWW/sa.
Siluet pengguna ponsel terlihat di ping proyeksi layar logo Apple dalam ilustrasi gambar yang diambil pada Rabu (28/3/2018).
Editor: Yuliawati
18/5/2021, 16.51 WIB

Raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) Apple menghadapi gugatan dari pengembang aplikasi Epic Games. Bila Epic memenangkan sidang gugatan yang berlangsung bulan ini, diperkirakan akan mengubah mengubah ekosistem aplikasi global.

Peneliti teknologi dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, apabila gugatan Epic Games berhasil menang maka akan ada perubahan pada model pemungutan di toko aplikasi. Pengembang pun bisa membayar pungutan itu di luar platform untuk semua aplikasi dan konten.

"Apabila gugatan Epic Games dikabulkan, kemungkinan harga pungutan dari perusahaan toko aplikasi seperti Apple bisa lebih murah karena tidak ada lagi komisi," ujar Heru kepada Katadata.co.id, Selasa (18/5).

Sedangkan, apabila gugatan ditolak, maka model bisnis pembayaran di platform tetap diberlakukan. Namun, meski Apple akan tetap memberikan komisi yang besar sekitar 30%, pengembang aplikasi akan mendapatkan layanan dan jaminan keamanan bagi konsumennya yang setimpal.

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda mengatakan, apabila gugatan dari Epic Games menang, ekosistem aplikasi di toko aplikasi seperti Apple ataupun Google juga bisa berubah. "Ekosistem akan berubah karena uang dari pengembang tidak menjadi penyumbang utama pendapatan Apple ataupun Google," kata Nailul.

Menurutnya, selama ini perusahaan toko aplikasi itu seringkali menetapkan harga yang murah kepada konsumen atau pengguna aplikasi, tapi mematok tarif yang tinggi kepada pengembang. "Artinya keuntungan yang didapatkan platform dibebankan kepada pengembang. Ekosistem ini sudah terjadi sejak lama di mana konsumen inilah yang menjadi sasaran marketing," kata Nailul.

Analis Teknologi dan Kebijakan Inovasi di Libertas Institute James Czerniawski mengatakan, jika Epic Games memenangkan gugatan tersebut, Apple memang harus mengubah kebijakannya dan memberi pengguna lebih banyak pilihan tentang cara mereka mendapatkan aplikasi. Namun, menurutnya Apple tidak akan tinggal diam.

"Apple akan berdebat dalam kasus ini dan berpendapat bahwa praktik mereka tidak berbeda dengan standar industri," kata James dikutip dari Fox13now pada akhir pekan lalu (16/5).

Diketahui, Apple mengenakan biaya komisi 30% untuk semua bisnis yang menggunakan aplikasi di tokonya. Tahun lalu, Apple beralasan bahwa pungutan 30% itu untuk mendukung para pengembang aplikasi.

Dukungannya seperti menyediakan 160 ribu dokumen teknis dan kode sampel yang dibutuhkan dalam membangun perangkat lunak (software).

Atas kebijakannya itu, sejumlah pengembang aplikasi termasuk yang paling keras Epic Games melakukan protes. Perusahaan pengembang aplikasi gim Fortnite itu bahkan membuat sistem pembayaran sendiri guna menghindari pungutan 30%.

"Kami memprotes karena membela hak-hak dasar pencipta aplikasi,” kata pendiri sekaligus CEO Epic Games Tim Sweeney dikutip dari The Verge, tahun lalu (24/9).

Apple merespons protes tersebut dengan menghapus Epic Games dari App Store pada tahun lalu. Epic Games lalu menggugat Apple atas penghapusan tersebut dan mengklaim kebijakan App Store melanggar undang-undang anti-monopoli.

Selain Epic Games, beberapa pengembang aplikasi lain juga gencar memprotes kebijakan Apple, seperti Spotify, hingga platform kencan online, Match Group. Mereka membentuk koalisi yang diberi nama The Coalition for App Fairness.

Selain karena kebijakan pungutan 30%, para pengembang aplikasi itu memprotes Apple karena menilai Apple lebih mengutamakan aplikasi sendiri di App Store. Spotify misalnya, menggugat Apple terkait dugaan monopoli di Uni Eropa. Produsen iPhone ini dinilai mengutamakan aplikasi buatan sendiri di toko aplikasinya.

"Apple memanfaatkan dominasinya dan melakukan praktik tidak adil yang merugikan pesaing," kata Spotify. Apple memang memiliki aplikasi streaming musik Apple Music, yang juga bersaing dengan Spotify.

Kedua aplikasi itu masih memimpin pasar layanan streaming musik secara global. Apple menguasai 19% pangsa pasar, dengan jumlah pengguna tumbuh 36% pada tahun lalu. Sedangkan Spotify meraih 35% pasar, dengan jumlah pelanggan meningkat 23% pada periode yang sama

Facebook juga sempat meminta keringanan pungutan dari Apple, meski tak masuk dalam The Coalition for App Fairness. "Kami meminta Apple mengurangi ‘pajak’ 30%," kata Head of Facebook App Fidji Simo, dikutip dari TechCrunch.

Diketahui, berdasarkan data Statista, ada sekitar 1,85 juta aplikasi di App Store pada tahun lalu. Jumlah aplikasi di App Store kalah dibandingkan Google Play Store, yang mencapai lebih dari 2,55 juta per kuartal pertama.

Aplikasi game online merupakan yang paling populer di App Store per tahun lalu. Hampir 22% di antaranya aktif digunakan oleh pemain gim (gamer).

Gim online yang paling sering digunakan yakni Epic Games. Sedangkan pada Juni lalu, Roblox menjadi aplikasi game terlaris dengan transaksi lebih dari US$ 2,74 juta per hari.  

App Store pun berkontribusi besar bagi bisnis game online secara global. Pendapatan perusahaan dari toko aplikasi Apple ini mencapai US$ 10,6 miliar pada kuartal pertama tahun lalu atau naik 18% secara tahunan (year on year/yoy). Sedangkan Google Play Store menempati urutan kedua, dengan sumbangan US$ 14,6 miliar terhadap industri gim online.

Tahun lalu, Forbes menobatkan Apple sebagai perusahaan dengan keuntungan terbesar sepanjang 2020. Dalam laman Global 2000, perusahaan berlogo apel itu meraup keuntungan US$ 63,9 miliar sepanjang tahun lalu. Angkanya setara dengan Rp 913,77 triliun dengan kurs Rp 14.300/US$. Berikut grafik dalam Databoks:

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan