Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah mengkaji sanksi bagi penyelenggara sistem elektronik yang platform-nya menjadi sarana penyebaran hoaks dan konten negatif lain. Regulasi yang berlaku saat ini hanya bisa menjerat oknum penyebar hoaks, bukan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, atau WhatsApp.
Aturan ini merupakan revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSE). Siang tadi (22/10), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menyampaikan bahwa revisi aturan ini sudah selesai tahap harmonisasi dengan Kementerian dan Lembaga (K/L) lain.
Tahap selanjutnya, Kominfo mengirimkan rancangan final aturan tersebut kepada Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani. "Hanya, biasanya Sekretariat Negara (Setneg) akan ada rapat sinkronisasi terakhir. Kemungkinan seminggu (selesai)," ujar Plt Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu, Selasa (22/10).
(Baca juga: WhatsApp Tutup Ratusan Ribu Akun Jelang Pemilu di Brasil)
Setelah aturan itu dirilis, penyelenggara sistem elektronik bisa dikenai hukuman baik pidana ataupun perdata. Ia mencontohkan, konten pornografi beredar di salah satu platform dan tidak ada penanganan dari penyelenggara sistem elektronik. Maka, pihak yang bertanggung jawab di perusahaan tersebut dihukum enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar sesuai Undang-Undang (UU) Informasi Transaksi Eletronik (ITE).
Selama ini, jika ada hoax atau konten negatif lain, platform seperti Facebook hanya diminta untuk memblokir konten ataupun akun yang bersangkutan. Bila platform menolak, akan diberi sanksi administrasi berupa teguran hingga pemblokiran sementara, seperti yang sempat dialami Telegram. "Di pasal 83 (revisi PP Nomor 82 Tahun 2012), platform bisa dihukum juga," kata dia.
Menteri Kominfo Rudiantara sempat mengatakan, pembuatan aturan ini mengacu pada hasil kajian ke Jerman dan Malaysia pada Maret 2018 lalu. Ia mengirim tim guna memelajari cara kedua negara tersebut mengatur penyelenggara sistem elektronik, baik dalam menjaga data penggunanya ataupun menghindari ujaran kebencian. Langkah tersebut diambil menyusul kebocoran data 87 juta pengguna Facebook.
(Baca juga: Perangi Konten Negatif, Facebook Libatkan Siswa, Orang Tua, dan Guru)
Ditambah lagi, Indonesia digegerkan oleh kasus bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya dan di Rusun Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur pada Maret 2018 lalu. Rudiantara menekankan, dirinya tak ingin Indonesia bernasib sama dengan Myanmar, di mana kekerasan terhadap etnis Rohingya diperparah oleh provokasi melalui media sosial.