Internet dapat membantu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mengakses pasar yang lebih luas dan mengembangkan bisnisnya. Namun, belum semua pelaku usaha mau menggunakan internet untuk kemajuan usahanya.
Buktinya, kementerian Koperasi dan UKM mencatat baru 4,6 juta dari sekitar 63 juta UMKM yang sudah masuk ke ranah online. Sementara pemerintah menargetkan 8 juta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) berjualan secara online pada 2019.
Kajian beberapa peneliti menunjukan, minimnya informasi seputar teknologi membuat UMKM enggan beralih ke bisnis digital. Brand and Digital Science Expert Founder of Tram Digital Erwin Panigoro menyebutkan, ada empat hal yang membuat UMKM sulit beralih ke digital.
Pertama, resistensi terhadap perubahan. Beberapa UMKM menganggap teknologi adalah hal baru, sehingga mereka masih meraba-raba potensi bisnisnya terlebih dulu.
Kedua, teknologi. "Di Tangerang Selatan, misalnya, 60% dari 500 UMKM di satu komunitas menganggap produknya tidak butuh teknologi," kata Erwin dalam acara Katadata Forum di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu (29/8).
(Baca juga: Persaingan Ketat Aplikasi Pembayaran Elektronik QR Code Merangkul UKM)
Ketiga, masalah pemahaman karakter dan pola pembelian konsumen. Kebanyakan UMKM membuat produk atas kemampuan yang mereka punya, bukan keinginan pelanggan. "Misalnya, saya bisanya buat gado-gado. Ya saya buat itu," kata dia. Padahal, riset ini penting supaya produk bisa diterima konsumen. Sementara data perilaku konsumen akan lebih mudah diperoleh jika bisnis dikelola secara digital.
Keempat, kurangnya keunggulan bersaing. Bila berjualan secara online, masih banyak UMKM yang tak paham pentingnya penampilan produk. Padahal, tampilan ini penting supaya produknya lebih menarik di antara banyaknya barang yang diperdagangkan lewat platform e-commerce ataupun aplikasi layanan online to offline (O2O) seperti Go-Jek, melalui Go-Food.
Secara umum, ia melihat UMKM mau beralih ke digital. Hanya, keempat hal tadi memang masih menjadi perhatian pelaku UMKM. "Ini kenyataan yang muncul. Kalau tidak didampingi dengan benar dan berkelanjutan, stigma itu akan tetap ada," kata Erwin.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Turro Wangkaren. Ia bercerita, saat meneliti UMKM terkait pembiayaan, salah satu responden enggan mengajukan kredit karena khawatir dihujani pertanyaan oleh bank. "Hal-hal seperti ini kalau dapat informasi yang jelas, (menjadi) bagian dari masyarakat digital akan lebih baik," ujarnya.
(Baca juga: Jasa Pengantaran Online Picu Pertumbuhan UMKM Kuliner)
Ternyata, tantangan serupa juga dihadapi oleh Go-Jek saat merangkul UMKM untuk bergabung. Chief Corporate Affairs Go-Jek Nila Marita mengatakan, rata-rata UMKM takut menggunakan teknologi karena hal yang baru. "Ada stigma. ‘Saya tidak familiar, ini barang baru jadi saya takut,’" katanya menirukan para pelaku usaha itu.
Padahal, jika UMKM mau beralih ke digital dan memaksimalkan teknologi, keuntungan yang didapat bisa meningkat drastis. Ia menyebutkan, omzet 80% dari sekitar 250 ribu mitra Go-Food meningkat rata-rata 26% setiap tahunnya. Mitra tersebut pun bisa memperluas pasarnya karena bergabung dengan Go-Jek. Selain itu, mitra Go-Food berhemat 30% karena tidak merekrut karyawan untuk mengantar pesanan.
Untuk itu, Go-Jek tengah mengkaji program edukasi dan pendampingan kepada UMKM supaya mau beralih ke digital. "Kami sedang menggodok untuk bersinergi, bagaimana kami selangkah lebih maju, tidak hanya akses teknologinya tetapi juga memberi pemahaman, misal pembukuan," ujarnya. Dalam hal ini, Go-Jek menyasar UMKM di dalam dan di luar ekosistem.