Penerbit Uang Elektronik Lokal Dukung BI Batasi Kepemilikan Asing

ANTARA FOTO/HO/Singue
Direktur Sales Telkomsel Mas’ud Khamid (kanan) didampingi Executive Vice President Area Jabotabek Jabar Telkomsel Yetty Kusumawati (kedua kanan) bersama Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian Kota Bogor Asep Zaenal Rahmat (kiri) melakukan aktivasi layanan digital payment TCASH Tap pada peresmian GraPARI Telkomsel, di Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/1).
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
8/5/2018, 13.24 WIB

Bank Indonesia (BI) membatasi kepemilikan saham investor asing pada perusahaan penerbit uang elektronik maksimal sebesar 49%. Pemain lokal pun mendukung ketentuan yang disahkan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik tersebut.

PT Nusa Satu Inti Artha, penyedia layanan pembayaran elektronik (e-payment) Doku dan aplikasi mobile financial services PT Telkomsel, TCash adalah salah dua perusahaan yang mendukung kebijakan itu. Keduanya menilai ketentuan yang diteken pada 4 Mei 2018 tersebut akan membuat persaingan lebih sehat.

Ia juga mendukung langkah BI mewajibkan penyelenggara sistem pembayaran asal luar negeri menggandeng lembaga penyelenggara Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), bukan hanya merchant.

"Untuk perlindungan baik merchant maupun konsumen, sebaiknya mereka (pemain asing) harus hadir langsung (presence) di Indonesia untuk beroperasi," kata Senior Vice President of Consumer Product Doku Ricky Richmond kepada Katadata, Selasa (8/5).

(Baca juga: BI Batasi 49% Kepemilikan Asing di Perusahaan Uang Elektronik)

Ia optimistis, kebijakan itu mampu mengantisipasi terjadinya perang harga (price war). Dengan begitu, para pemain di sektor ini bisa fokus bersaing dalam hal layanan dan keandalan (Service Level Agreement/SLA).

Secara keseluruhan, menurut dia, regulasi baru tersebut bertujuan mendorong kompetensi di dalam negeri yang lebih baik dan dominan dalam mengelola uang elektronik. Selain itu, guna memastikan persaingan yang sehat dan kecukupan modal untuk perlindungan konsumen. "Hanya pemain lokal yang serius menyelenggarakan transaksi pembayaran yang diharapkan bisa bersaing," ujar dia.

Senada dengan Doku, CEO TCash Danu Wicaksana juga mendukung kebijakan tersebut. Ia juga mengklaim, regulasi tersebut tidak akan memengaruhi kinerja ataupun operasional perusahaannya. "Kami mayoritas dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), jadi sudah memenuhi aturan kepemilikan tersebut," kata dia.

Menurut dia, aturan ini akan berdampak pada penyelenggara uang elektronik yang didanai oleh investor asing saja. Sementara TCash, bukan hanya kepemilikannya yang murni domestik, tetapi seluruh pekerjanya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). "Kami  satu-satunya penyelenggara uang elektronik (di antara perusahaan besar lainnya) 100% karyawannya orang Indonesia," kata dia.

(Baca juga: BI Perketat Pengawasan Transaksi Uang Elektronik Lintas Batas)

Sementara itu, CEO DANA Vincen Iswara menyampaikan, kebijakan BI tersebut tidak akan memengaruhi kinerja sekalipun investornya adalah Ant Financial (Alipay), yang berasal dari Tiongkok. "DANA sepenuhnya patuh," kata dia. Adapun DANA diusung oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek) dan Alipay, yang diluncurkan pada akhir Maret lalu.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 fokus memperkuat tiga aspek penyelenggaraan uang elektronik yakni kelembagaan; perlindungan konsumen; serta, peningkatan keamanan dan akseptansi. Dari sisi kelembagaan, BI membatasi kepemilikan asing sebesar 49%, menetapkan minimal modal disetor, dan mengelompokan izin penyelenggara.

Dari aspek perlindungan konsumen, BI mengatur penataan struktur biaya dan mekanisme pengelolaan floating fund yang lebih transparan dan akuntabel, dengan tetap mengedepankan mitigasi risiko likuiditas dan insolvensi. Lalu dari segi keamanan, BI mewajibkan penyelenggara uang elektronik meningkatkan standar keamanan transaksi dan memproses transaksi secara domestik.

Reporter: Desy Setyowati