BI Batasi 49% Kepemilikan Asing di Perusahaan Uang Elektronik
Bank Indonesia (BI) akan membatasi kepemilikan saham investor asing pada perusahaan penerbit uang elektronik maksimal sebesar 49% sedangkan untuk investor lokal minimal 51%. Aturan ini dibuat untuk meningkatkan daya saing industri uang elektronik dan peran pelaku domestik dalam jasa sistem pembayaran.
Kepala Departemen Sistem Pembayaran Bank Indonesia Onny Widjanarko mengatakan, ketentuan ini ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/VI/PBI/2018 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik. Aturan terkait kepemilikan saham ini berlaku bagi penerbit yang merupakan lembaga selain bank (LSB). PBI yang ditandatangani Gubernur BI Agus Martowardojo pada 4 Mei 2018 ini tidak akan berlaku surut. "BI tidak membatasi jika asing ingin masuk tetapi tetap pemegang saham yang mengendalikan harus orang Indonesia atau badan hukum Indonesia," kata Onny, di Jakarta, Senin (7/5).
Untuk perusahaan penerbit uang elektronik yang sudah beroperasi, BI tidak akan meminta mereka menerapkan aturan tersebut selama tidak ada aksi korporasi yang menyebabkan perubahan komposisi pemegang saham. "Misalnya, perusahaan tersebut 80% sahamnya dimiliki pemegang saham asing. Kami izinkan dia tetap berjalan selama tidak ada aksi korporasi," ujar Onny. Jika terdapat pengalihan kepemilikan saham atau transaksi jual beli saham maka investor asing harus memenuhi ketentuan kepemilikan maksimal 49%.
Saat ini, ada 27 penyelenggara atau penerbit uang elektronik yang telah mendapatkan izin dari BI. Sekitar 16 perusahaan merupakan LSB. Onny mengatakan, masih ada 5 perusahaan yang tengah diproses pengajuan izinnya sebagai penerbit uang elektronik. "Lima perusahaan ini yang terkait dengan kepemilikan asing," ujar Onny.
(Baca: Transaksi Tumbuh 163%, BI Perketat Pengawasan Uang Elektronik)
Kepemilikan Tunggal
Dalam PBI baru tersebut, BI juga mengatur soal kepemilikan tunggal dan pemegang saham pengendali (PSP). Aturan ini dibuat terkait perkembangan penyelenggaraan uang elektronik dan kegiatan bisnis lain yang makin erat dan kompleks, khususnya yang dilakukan dalam satu entitas atau kelompok bisnis yang sama.
Direktur Kebijakan Departemen Sistem Pembayaran BI Ida Nuryanti mengatakan, aturan kepemilikan tunggal dan PSP ini merupakan aturan yang baru pertama kali dikeluarkan BI untuk penyelenggara uang elektronik. Satu individu atau badan hukum disebut menjadi pemegang saham pengendali apabila memiliki saham 25% atau lebih pada perusahaan penyelenggara uang elektronik.
Satu perusahaan juga dilarang memiliki izin pada dua atau lebih perusahaan jasa sistem pembayaran (PJSP) dalam kelompok yang sama. Kelompok penyelenggara ini dibagi menjadi dua, yakni front end dan back end. Kelompok penyelenggara front end terdiri atas penerbit, penyelenggara payment gateway, acquirer, penyelenggara dompet elektronik, dan penyelenggara transfer dana. Adapun kelompok penyelenggara back end terdiri atas prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara penyelesaian akhir, dan penyelenggara kliring. Aturan ini tidak berlaku surut. Pemegang saham harus mengikuti aturan ini ketika terjadi aksi korporasi yang menyebabkan pengalihan kepemilikan saham.
Lippo Group, misalnya, saat ini memiliki izin pada dua penyelenggara uang elektronik (front end) lewat Grab Pay dan OVO. Begitu pula dengan Go-Jek yang mengakuisisi tiga perusahaan, yakni Kartuku, Midtrans, dan Mapan untuk memperkuat bisnis dompet elektronik Go-Pay. "Kami sudah petakan dan komunikasikan dengan mereka sebelum PBI ini dikeluarkan," kata Onny.
(Baca: OVO dan Grab Pay Siapkan Dompet Elektronik Terpadu)
Ida menambahkan, jika Go-Jek ingin melakukan perubahan kepemilikan pada ketiga perusahaan penyelenggara uang elektronik yang telah diakuisisi tersebut, mereka harus minta izin lagi kepada BI. "Pengawas akan melakukan assessment. Kalau pengembangannya tidak sesuai dengan aturan ini, tidak akan kami setujui," ujar Ida.