Bank Indonesia (BI) menyatakan mata uang digital berisiko tinggi. Maka itu, BI memperingatkan masyarakat untuk tidak memperjualbelikan mata uang digital. BI pun menyebut beberapa kasus kejahatan terkait mata uang digital yang merugikan masyakarat.

“Terdapat beberapa kasus fraud virtual currency yang merugikan pemegang virtual currency,” demikian tertulis dalam paparan BI yang dipublikasikan pada Senin (15/1). Beberapa kasus yang dimaksud merupakan kasus pencurian dan penipuan. (Baca juga: BI: 4 Aktivitas Mata Uang Digital Berisiko Tinggi dan Perlu Diatur)

Pertama, kasus pencurian bitcoin dari pemegang wallet yang dikelola Mt Gox. Adapun Mt Gox merupakan suatu perusahaan penyelenggara bursa bitcoin di Jepang. Peristiwa pencurian yang terjadi pada 2014 tersebut membuat MT Gox menghentikan perdagangan dan layanannya dan mengajukan kepailitan. Kerugian sebesar 850 ribu bitcoin atau setara US$ 450 juta pada saat itu.

Kedua, kasus peretasan hot wallet di bursa mata uang digital Bitstamp yang bermarkas di London. Akibat peretasan tersebut, Bitstamp terpaksa menutup situs dan memintra semua nasabah berhenti melakukan deposit ke wallet. Kerugian 19 ribu bitcoin atau setara US$ 5 juta ketika itu.

Ketiga, kasus penipuan oleh Trendon Shavers, warga negara Amerika Serikat (AS) pendiri bursa mata uang digital bernama Bitcoin Saving and Trust Trendon Shavers. Trendon melakukan penipuan dengan skema ponzi dan terbongkar pada 2015. Kerugian dari kasus tersebut mencapai US$ 4,5 juta.

Keempat, kasus peretasan di bursa mata uang digital Bitfinex yang bermarkas di Hong Kong. Peristiwa yang terjadi pada 2015 tersebut menyebabkan kerugian sebesar US$ 330 ribu.

Kelima, kasus pencurian di bursa mata uang digital Shapeshift pada 2016. “(Shapeshift) mengalami tiga kali kasus pencurian dua sebulan,” demikian tertulis.

Terakhir, BI mengingatkan kasus penjualan narkotika di website Silkroad. Transaksi diketahui menggunakan bitcoin. FBI berhasil membekukan sekitar US$ 28,5 juta.

Menurut BI, belum adanya regulasi yang mengatur mata uang digital meningkatkan eksposur pengguna terhadap kerugian keuangan. Apalagi, tidak terdapat pengelola yang jelas sehingga sulit untuk meminta pertanggungjawaban. (Baca juga: Dilarang Jadi Alat Bayar, Status Mata Uang Digital Mengambang)

Di sisi lain, BI menyebut mata uang digital rawan digunakan untuk transaksi kejahatan lantaran mekanisme transfer tidak melawati institusi formal yang memiliki sistem anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Selain itu, penggunaan nama samaran (pseudonim) dalam transaksi menyebabkan pelaku transaksi tak bisa diidentifikasi.

“Transaksi lebih cepat dan lebih mudah untuk dipindahkan, bahkan hingga ke luar negeri menyulitkan untuk dilakukan pembekuan atau penyitaan terkait kasus kejahatan,” demikian tertulis.