Negosiasi Buntu, Dirjen Pajak Ancam Penjarakan Google

Arief Kamaludin|KATADATA
Dirjen Pajak Ken Dwijugeasteadi berdialog dengan pedagang di ITC Mangga Dua, dalam rangka sosialisasi program tax amnesty kepada para pelaku UMKM.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
21/12/2016, 16.46 WIB

Proses negosiasi pembayaran pajak Google dengan pemerintah terancam buntu. Jika tidak tercapai kesepakatan, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengancam akan memenjarakan pimpinan perusahaan digital (over the top/OTT) asal Amerika Serikat (AS) tersebut.

Bulan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah menyampaikan besaran tunggakan pajak yang harus dibayarkan oleh Google. Namun, Google masih menawar besaran nilai pajaknya. (Baca: Ditawari "Angka Damai" Tagihan Pajak, Google Masih Nawar)

Ken menekankan bahwa perlakuan sanksi yang diberikan kepada subjek pajak dalam negeri, baik itu perusahaan nasional ataupun asing, sama jika tidak membayar pajak. “Kalau sudah punya tunggakan dan tidak bayar, bisa dimasukkan ke penjara juga. Jadi perlakuannya sama, karena sama-sama subjek pajak,” katanya di Jakarta, Rabu (21/12).

Saat ini, persoalan tunggakan pajak Google telah masuk tingkat penyidikan atau bukti permulaan. Persoalannya, data yang diberikan oleh Google berbeda dengan yang dimiliki oleh DJP.

Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv mengatakan, DJP sudah meminta pembukuan keuangan Google. Namun, hingga hari ini Google belum jua memberikannya. Padahal, pembukuan itu berbentuk file dokumen. “Masa harus menunggu berhari-hari,” katanya.

(Baca: Capai Kesepakatan, Google Segera Bayar Pajak di Indonesia)

Karena itu, pemerintah menawarkan hitungan tunggakan pajak berdasarkan settlement atau kesepakatan bersama. Nilai tunggakan pajak untuk Google berdasarkan dari data yang diberikan oleh Direktur Akutansi Google di Indonesia. Selain itu, besaran nilainya tidak termasuk denda bunga 150 persen. “Ya sudah saya pasang angka itu, dengan catatan kami tidak usah minta dokumen (keuangannya),” ujar Haniv.

Ia mengklaim, nilai tersebut di bawah angka yang semestinya dibayarkan. Padahal, jika dikaji hingga tahap investasi maka nilai pajak yang harus dibayarkan Google bisa empat kali lipat lebih besar. “Angka yang kami tawarkan merupakan yang terendah dari yang semestinya dibayarkan.”

Menurut Haniv, penetapan besaran tunggakan pajak Google ini dengan mempertimbangkan upaya yang dilakukan negara lain. Inggris dan India, misalnya, juga menetapkan tax settlement atau bisa disebut ‘angka damai’.

Dengan mempertimbangkan bentuk penghindaran pajak yang dilakukan Google adalah modus baru dan belum diatur di payung hukum negara manapun, maka penetapan tunggakannya pun lebih fleksibel untuk dinegosiasikan.

Ia mengakui bahwa kebijakan tersebut lemah secara hukum. Namun, semua negara pun saling mengkaji langkah otoritas pajak yang lain dalam menetapkan tunggakan pajak Google dan perusahaan sejenis. (Baca: Bidik Pajak Google dan Facebook, Aturan Baru Tak Berlaku Surut)

Apalagi, di Indonesia juga belum ada aturan baku mengenai hal itu, lantaran masih dibahas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sementara Google tak kunjung bersedia membuka laporan keuangannya.

“Misalnya, saya ungkap (tunggakan pajak Google) 10, seperlimanya saja (dibayar). Padahal angka itu sudah lebih kecil. Di pajak sebetulnya tidak biasa angka damai, namun dunia trennya seperti itu,” ujar dia.