Chatib Basri Peringatkan Unicorn Menimbulkan Risiko Sistemik Ekonomi

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai perusahaan digital harus mulai memikirkan keuntungan karena tak bisa terus mengandalkan pendanaan investor.
Penulis: Agustiyanti
11/10/2019, 18.24 WIB

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengingatkan perusahaan rintisan (startup) digital dapat menciptakan risiko sistemik pada perekonomian jika tak mengubah pola bisnis yang hanya bergantung pada kenaikan gross merchandise volume (GMV). Menurut dia, sudah saatnya perusahaan digital berupaya mencapai keuntungan untuk menjaga keberlanjutan perusahaan.

Dia menjelaskan bisnis perusahaan digital yang kini masih bertumpu pada upaya menggenjot GMV dengan memberikan subsidi pasar atau 'bakar uang' membutuhkan pendanaan terus menerus. Padahal, perusahaan tak bisa terus menerus bergantung pada pendanaan dalam menjalankan bisnis.

"Kalau suatu hari terjadi resesi global, sumber pendanaan akan menurun dan kalau tiba-tiba tidak berhasil mendapat pendanaan, tidak bisa 'membakar uang', ini risikonya akan sistemik," ujar Chatib dalam acara Tokopedia x Katadata Forum di Jakarta, Kamis (10/10).

 (Baca : Kasus WeWork, Singal Berakhirnya Startup Rugi yang Gencar "Bakar Uang")

Oleh karena itu, menurut dia, penting bagi perusahaan digital untuk mulai memikirkan keuntungan. Pasalnya, menurut dia, valuasi tetap bisa terjadi jika ada liquidity event atau investor awal dapat menarik keuntungan atas investasinya.

"Kalau tidak ada liquidity event, kita enggak bisa bicara valuasi," terang dia.

Menurut dia, bisnis perusahaan digital apalagi yang sudah memiliki skala usaha yang besar perlu dijaga keberlangsungannya agar tak menimbulkan risiko sistemik pada perekonomian. Pasalnya, begitu banyak pelaku usaha dan masyarakat yang menjadi bergantung pada platform tersebut.

"Kalau skala usahanya sudah sebesar Tokopedia yang jumlah penggunanya mencapai 90 juta pengguna, begitu banyak pelaku usaha yang bergantung dari platform ini. Ini harus dijaga baik2-baik agar tidak menimbulkan sistemik dan ini juga berlaku pada e-commerce lain," terang dia.

Chatib pun yakin Tokopedia dan unicorn lain juga sudah memikirkan untuk mulai mencetak keuntungan. 

(Baca: Sri Mulyani: Ekonomi Digital RI Tercepat di Asia, Bernilai Rp 1.820 T)

Google sebelumnya memprediksi Ekonomi digital, terutama e-commerce di Asia Tenggara diprediksi akan terus tumbuh. Beberapa negara yang menjadi sorotan di kawasan ini adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani pada acara yang sama juga berharap pertumbuhan perusahaan digital yang pesat diiringi dengan kemampuan untuk memperbaiki pondasi pada tata kelola keuangannya. 

"Perusahaan digital yang begitu cepat menjadi unicorn bahkan nanti akan jadi decacorn (valuasi di atas US$ 10 miliar) harus mempercepat kemampuan pondasi dari tata kelolanya sehingga mereka bisa mengimbangi dengan tanggung jawab kepada masyarakat," jelas dia. 

CEO Tokopedia William Tanuwijaya sebelumnya menargetkan perusahaan dapat mencetak  EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) positif pada tahun depan. Tokopedia bahkan berencana mengela penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO).

"Jadi, kami berencana untuk pre-IPO dan go public. Sejak hari pertama, kami sudah memikirkan jangka panjang. Kami senang dengan kemajuan kami sejauh ini,” ujarnya di acara Tech In Asia Conference, Jakarta, Rabu (9/10).

(Baca: Optimistis Laba Positif Tahun Depan, Bos Tokopedia Rencanakan IPO)

BukaLapak juga sebelumnya menyatakan hal serupa. e-Commerce tersebut bahkan sempat ingin menjadi unicorn pertama yang mencetak keuntungan.

Chief of Strategy Officer of Bukalapak Teddy Oetomo menjelaskan meski pertumbuhan GMV dalah indikator penting bagi e-commerce, pihaknya ingin membangun bisnis ke tahap lebih jauh. Perusahaan ingin menjadi sustainability e-commerce  atau e-commerce yang menghasilkan keuntungan.

"Kami ingin menjadi e-commerce unicorn pertama yang meraih keuntungan. Dengan pencapaian performa bisnis yang baik dan modal yang cukup, kami menargetkan untuk dapat mencapai breakeven bahkan keuntungan dalam waktu dekat," kata Teddy. 

(Baca: PHK Karyawan, Bukalapak Ingin Jadi Unicorn Pertama yang Cetak Untung)

Selama ini, aksi 'bakar uang' dianggap umum dilakukan perusahaan startup.  Mereka tetap dapat mencatatkan kenaikan valuasi yang signifikan dan mengantongi pendanaan besar dari investor dengan bermodal kenaikan GMV. 

Namun, masalah baru-baru ini dialami oleh salah satu startup  asal Amerika Serikat, WeWork yang batal melakukan IPO. Banyak analis yang memperkirakan startup penyedia layanan ruang kerja Bersama (coworking space) mengalami kekurangan dana kas. Mengutip dari Business Insider, WeWork berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 1.000-3.000 karyawan, atau sekitar 10-25% dari total.

Ahli Strategi Ekuitas di Morgan Stanley Michael Wilson mengatakan, kegagalan WeWork bisa menjadi sinyal berakhirnya ‘hari-hari modal tanpa batas untuk bisnis yang belum untung’.