BEI Akan Terapkan Saham Khusus dan Permudah Syarat untuk IPO Unicorn
Bursa Efek Indonesia (BEI) terus mendorong unicorn untuk melakukan penjualan saham perdana ke publik alias IPO dan mencatatkan sahamnya di Tanah Air ketimbang luar negeri. BEI pun mengkaji penerapan ketentuan kelas saham ganda hingga memberikan kemudahan persyaratan.
Otoritas bursa itu berkoordinasi dengan berbagai stakeholder. “Ini untuk mencari praktik terbaik, sehingga perusahaan bisa listing di dalam negeri," kata Kepala Unit Evaluasi dan Pemantauan BEI Hendra Ahmad Hidayat dalam acara Fintech Talk, Rabu (31/3).
Salah satu ketentuan yang akan diterapkan BEI yaitu kelas saham ganda. "Kami sudah menuntaskan kajian hukum terkait ini. Kami juga berdiskusi dengan otoritas terkait. Diharapkan, nanti saat IPO, saham berbeda bisa mempunyai satu suara," katanya.
Ketentuan kelas saham ganda merupakan suatu struktur permodalan yang melibatkan paling sedikit dua klasifikasi saham berbeda.
Dengan kebijakan itu, perusahaan bisa menerapkan multiple voting shares atau mempunyai jenis saham lebih dari satu hak suara untuk tiap lembarnya. "Maksimal sepuluh hak suara," ujar Hendra.
Pada saham biasa, pemilik hanya memiliki satu hak suara untuk tiap lembar atau ordinary share.
Hendra mengatakan, ketentuan itu dibuat berdasarkan permintaan unicorn. Startup bervaluasi US$ 1 miliar meminta adanya hak khusus berupa dua kelas saham untuk kepentingan pengambilan keputusan. Maka, satu saham memiliki hak lebih dari yang biasa dalam hal pengambilan kebijakan.
Hal itu mirip dengan Perusahaan Gas Negara (PGAS), yakni saham mayoritas dimiliki oleh Pertamina (Persero) 56,96%, sementara publik 43,03%. Namun, negara memiliki satu saham Seri A dwiwarna yang masih bisa mengontrol PGN.
"Harapannya, keengganan unicorn IPO karena tidak bisa mengakomodasi kelas saham berbeda, akan teratasi melalui ketentuan baru ini," ujarnya.
Selain itu, BEI akan memberikan kemudahan persyaratan IPO. Hendra mengatakan, unicorn ingin melantai di bursa dengan masuk ke papan utama atau yang diisi oleh perusahaan besar.
Sedangkan salah satu syarat untuk masuk papan utama yakni membukukan laba usaha pada satu tahun buku terakhir. Selain itu, memiliki aset berwujud bersih (net tangible assets) minimal Rp 100 miliar.
Akan tetapi, unicorn rata-rata memiliki aset tidak berwujud (intangible assets). Alhasil, bursa menyesuaikan persyaratan dengan kinerja perusahaan rintisan.
"Unicorn yang belum miliki laba tetap bisa masuk," kata Hendra. Caranya, dengan memasukkan unsur lain dalam kinerja unicorn seperti pendapatan dan kapitalisasi pasar.
Sebelumnya, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan telah menyiapkan perubahan peraturan pencatatan nomor I-A. Nantinya, ada beberapa alternatif persyaratan pencatatan, sehingga dapat mengakomodasi berbagai karakteristik perusahaan, termasuk startup.
"Dari hasil diskusi, kami optimistis bahwa perusahaan-perusahaan teknologi dapat segera IPO,” ujar Nyoman kepada wartawan, Januari lalu (7/1).
Komisaris BEI Pandu Sjahrir juga sempat menyampaikan, ada tiga startup jumbo yang bersiap IPO di bursa Tanah Air. Ketiganya bakal melantai pada semester II 2021.
"Saya tidak menyebut mereka startup, karena mereka punya ribuan tenaga kerja. Mungkin disebutnya sebagai teknologi konglomerasi. Sudah ada tiga yang mendaftar IPO di Indonesia," katanya.
Jika itu terjadi, maka akan menjadi pertama kalinya konglomerasi perusahaan teknologi melantai di bursa Tanah Air. “Kami menjadi belajar, seperti menghitung nilai valuasi dan lainnya," ujarnya.
Indonesia memiliki startup dengan valuasi US$ 10 miliar lebih atau decacorn, yakni Gojek. Selain itu, ada empat unicorn atau valuasi di atas US$ 1 miliar yaitu Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan OVO.