Setidaknya ada tujuh startup di Indonesia yang memberhentikan karyawan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) tahun ini dan disinyalir akibat fenomena ledakan gelembung atau bubble burst. Namun, fenomena tersebut dinilai tidak akan memengaruhi potensi ekonomi digital Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan ekonomi digital terus bertumbuh terdorong kebutuhan online di masa pandemi Covid-19. Hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Nilai ekonomi digital Indonesia yang tercermin dari total nilai penjualan atau gross merchandise value (GMV) sebesar US$ 70 miliar atau sekitar Rp 1.018 triliun pada 2021. Proyeksi GMV ini kembali meningkat menjadi US$ 146 miliar atau sekitar Rp 2.124 triliun pada 2025.
"Khusus untuk sektor e-commerce, pada tahun ini mengalami pertumbuhan pesat. Kami optimis kondisi ekonomi global atau fenomena bubble burst tidak akan berpengaruh," ujar Bima dalam acara Sofa Talk Series bertajuk Mengulik Aspek Ekonomi pada Tiga Isu Prioritas Digital Economic Working Group (DEWG), Jumat (10/6).
Dia memperkirakan akan ada perubahan model bisnis pada ekosistem digital. "Ini perlu disesuaikan di tengah kondisi yang berlaku," katanya.
Misalnya, startup mengalami penurunan dengan model bisnis business to consumer (B2C) perlu melakukan pivot ke model bisnis business to business (B2B). "Fenomena ini akan melihat potensi ekonomi digital yang baru," katanya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga mengatakan, fenomena startup bubble burst membuat perlambatan pada sejumlah sektor. "Namun, potensi ekonomi digital tetap bertahan dan survive," ujarnya.
Dewan Pakar Institute for Social Economic Digital Indonesia (ISED) Rosdiana Sijabat juga mengatakan, nilai ekonomi digital akan tetap tinggi karena faktor konsumsi rumah tangga setelah pandemi Covid-19 yang bertumbuh pesat. Saat ini, nilai ekonomi digital telah berkontribusi sekitar 4% terhadap perekonomian Indonesia.
"Lompatan nilai ekonomi digital itu kan didapat dari sejumlah layanan seperti e-commerce, transportasi online, hingga pengantaran makanan. Ini bisa tinggi karena layanan itu terdorong konsumsi rumah tangga yang mulai membaik," ujar Rosdiana.
Ada tujuh startup di Indonesia yang melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK tahun ini. Ketujuh startup tersebut yakni TaniHub, Zenius, LinkAja, Pahamify, JD.ID, Mobile Premier League (MPL), dan Lummo.
Startup tersebut melakukan PHK dengan waktu yang saling berdekatan. Berdekatannya jarak PHK antara startup tersebut disinyalir sebagai akibat dari fenomena bubble burst.
Menurut Investopedia.com, fenomena bubble burst merupakan kondisi bisnis yang cepat mengalami kenaikan tapi cepat mengalami penurunan. Terdapat sejumlah penyebab utama perusahaan rintisan tersebut secara bersamaan melakukan PHK terhadap karyawannya.
Pertama, produk yang ditawarkan kalah bersaing, sehingga perusahaan kehilangan pangsa pasar atau market share secara signifikan. Apalagi, saat ini semakin banyak startup yang terus bermunculan di Tanah Air.
Kemudian, startup dinilai mulai kesulitan mencari pendanaan baru akibat investor lebih selektif memilih perusahaan
Penyebab lainnya, yakni karena pasar mulai jenuh dan sangat sensitif terhadap promo dan diskon. Hal ini terjadi jika aplikasi tidak memberikan diskon maka jumlah pengguna akan menurun.
Lalu, dengan semakin meredanya penyebaran Covid-19 dan aktivitas masyarakat yang kembali pulih, membuat transaksi tak hanya dilakukan secara online melainkan juga secara offline.