Perusahaan startup fintech Xendit punya perjalanan panjang sebelum mencapai valuasi di atas US$ 1 miliar atau setara Rp 15 triliun. Perusahaan pintu pembayaran atau payment gateway ini melewati jalan berliku dan melalui sejumlah kegagalan dalam mengembangkan produk sebelum menjadi unicorn.
Co-Founder & COO Xendit Group Tessa Wijaya mengatakan saat awal Xendit didirikan pada 2015, sangat kesulitan mendapat pendanaan. Ia juga teringat ke masa itu, saat Xendit baru memulai bisnisnya. Tessa mengatakan, saat itu juga sulit untuk memesan ojek online seperti Gojek. Kalau ingin memesan Gojek harus melalui telepon, belum ada aplikasi hingga Gopay.
"Jadi saat itu, memang Indonesia itu belum on the map," kata Tessa, Kamis (26/1). Sementara, saat ini startup mudah mendapatkan pendanaan dari Amerika, Eropa dan sebagainya.
"Zaman dulu tuh amat sangat susah," kata dia. Ia menyatakan bahwa saat itu banyak investor yang bahkan belum tahu keunggulan dari Indonesia.
Meski banyak kesulitannya, Tessa mengatakan perusahaan berjuang dengan keras. Dengan menunjukkan dapat mengembangkan produk yang baik di Indonesia. "Jadinya kami dilirik juga oleh investor," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, Xendit adalah perusahaan pertama di Indonesia yang mendapatkan pendanaan dari white komanditer. White komanditer adalah akselator yang lumayan mapan di Silicon Valley. "Sebelumnya belum ada perusahaan di Indonesia yang mendapatkan pendanaan tersebut," katanya.
Meski dalam kondisi makro ekonomi buruk dan tech winter, ia mengatakan para pemula startup tidak perlu khawatir. "Kalau lihat statistiknya, untuk perusahaan yang membutuhkan seed funding itu masih banyak investor yang ingin menuangkan uang ke Indonesia," kata Tessa.
Ia menyarankan agar startup memiliki masalah ril yang harus diatasi. "Kalau memang masalahnya ada, startup pasti akan survive, dan investor pasti akan datang," ujarnya.
Lebih lanjut, Tessa berharap para pemula startup untuk tidak menyerah khususnya pada situasi. Menurutnya, jika startup dapat sukses pada masa sulit, maka startup dapat meraih 'kemenangan' pada masa baik.
Tahun lalu, Tessa memberi tips untuk membangun perusahaan rintisan yakni tidak bisa hanya mengandalkan satu ide. Hal ini berkaca pada pengalaman para pemegang operasi Xendit, yang nyaris menjadi perusahaan blockchain.
“Banyak orang menyangka startup itu dimulai dari satu ide dan wow sampai sukses. Tapi banyak startup yang idenya benar-benar beda, jadi harus pivoting,” kata Tessa dalam program serial podcast Impactalk yang dirilis oleh Impactto belum lama ini.
Tessa bercerita, sebelum dia bergabung ke Xendit, perusahaan rintisan tersebut sempat berpikir untuk membuat blockchain, yang erat kaitannya dengan aset kripto. Blockchain adalah buku besar terdesentralisasi dan terdigitalisasi, yang mencatat informasi transaksi aset kripto dalam urutan kronologis.
"Tapi di 2015, siapa yang mau mengikuti blockchain?” ujar Tessa. Ketika membuat blockchain, kata dia, tidak ada transaksi.
Startup itu pun kembali mencari inspirasi lain dan muncul ide membuat perusahaan mobile payment seperti Venmo di Amerika. Saat perjalanan awal, dompet digital tersebut memiliki banyak pengguna. Namun selang beberapa lama, mereka sadar bahwa pengguna hanya akan memakai jasa mobile payment jika ada diskon.
Pada 2015 belum terlalu banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan layanan keuangan digital, termasuk mobile payment. Kondisi tersebut menjadi tantangan dan dinilai belum bisa dikembangkan di Indonesia kala itu, sehingga Tessa dan tim kembali membuat pivot untuk kedua kalinya.
Seiring perjalanan membangun Xendit, Tessa bercerita bahwa Moses Lo selaku Founder dan CEO Xendit berfokus pada produk payment gateway. Sementara Tessa mulai membangun produk berbeda untuk usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, dengan nama Click Cell. Sayangnya, produk tersebut tidak berjalan mulus.
Tessa berkisah, selama tiga bulan menjadi manajer produk, Click Cell belum ada yang menggunakan produk rintisannya tersebut. Alhasil, produk Click Cell dibatalkan dan dia kembali untuk fokus pada produk payment gateway.
Sebagai startup infrastruktur untuk pembayaran, Xendit menghubungkan pebisnis dengan bank atau Mastercard dan Visa. Tessa mengandaikan Xendit sebagai perusahaan logistik yang berperan memindahkan uang yang semuanya dilakukan di dunia maya atau digital.
"Belajar dari Click Cell, sebagai Co-founder yang membangun produk sendiri, sebenarnya deep down kita untuk tahu produk ini enggak menarik buat konsumen. Cuma, kadang susah move on,” ujarnya.
Dari kegagalan Click Cell ini, Tessa juga belajar pentingnya berinteraksi dengan pelanggan lebih awal. Interaksi tersebut untuk mengetahui minat pengguna serta melihat kebutuhan konsumen yang akan menjadi target pasar. Dia juga mengatakan salah satu kesalahannya selama membangun Click Cell yakni mereka menanyakan kebutuhan pelanggan, namun tidak benar-benar mendengarkan.
Menurut dia, untuk mendengarkan review pelanggan juga membutuhkan strategi khusus, termasuk merespons pertanyaan. Saat ini, Tessa dan tim benar-benar mendengarkan customer. “Itu sesuatu yang besar, enggak cuma bertanya tapi juga mendengarkan,” ujarnya.