CEO TikTok Shou Zi Chew membagikan cara untuk mengantisipasi penyebaran berita palsu atau hoaks pada platform media sosialnya menjelang pemilihan umum atau Pemilu 2024 di Indonesia.
“Kami membuat pusat-pusat informasi Pemilu di mana kami meningkatkan sumber daya untuk mengidentifikasi dan menghapus setiap informasi yang salah dan berbahaya,” kata CEO TikTok Shou Zi Chew dalam acara TikTok Southeast Asia Impact Forum di Jakarta, Kamis (15/6).
Pada saat yang sama, perusahaan menjaga kebebasan berekspresi agar orang-orang dapat mengekspresikan diri mereka sendiri.
Shou menegaskan misi perusahaan adalah untuk menginspirasi kreativitas dan kegembiraan. Menurut dia, TikTok merupakan platform yang penting untuk berekspresi dan berdiskusi.
"Namun, kami tidak ingin mengambil keuntungan dari siklus pemilihan umum ini. Jadi, sebagai sebuah kebijakan secara global, kami tidak mengambil bagian dalam pemilu,” ujar dia. “Kami tidak mengambil uang dari iklan politik sebagai platform."
Ia pun menambahkan bahwa TikTok hanya peduli dengan integritas platform.
Head of Public Policy Southeast Asia TikTok Teresa Tan menegaskan perusahaan berupaya menjaga integritas pemilu dengan sangat serius di platform TikTok.
Berdasarkan pedoman komunitas perusahaan, “kami memiliki kebijakan integritas dan keaslian yang tidak mengizinkan kesalahan informasi di platform kami yang menyebabkan kerugian yang signifikan bagi masyarakat,” kata Teresa.
Teresa pun menyatakan bahwa TikTok melibatkan pemangku kepentingan dalam ekosistem untuk mewujudkan hal ini.
“Jadi untuk pemilu, kami bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU),” ujarnya. Hal ini untuk memastikan bahwa perusahaan menyediakan pusat informasi pemilu di mana orang bisa mendapatkan akses ke informasi yang otoritatif.
Ia menjelaskan bagi para kreator yang mungkin membuat konten terkait dengan pemilu, akan mendapatkan akses ke sebuah label atau pusat pemilu untuk mendapatkan informasi faktual tentang pemilu.
Lebih lanjut, Teresa mengatakan bahwa TikTok melibatkan mitra pemeriksa fakta lokal dan juga mitra pemeriksa fakta di seluruh dunia yang dapat membantu perusahaan dalam seluruh proses verifikasi informasi ini.
Kerjasama dengan lembaga pemeriksa fakta bertujuan untuk dapat memahami norma-norma sosial setempat untuk dapat bertindak berdasarkan konten informasi yang salah yang mungkin ada di platform.
Ia menambahkan TikTok memiliki pop up informasi untuk pengguna sebelum membagikan konten yang dinilai belum diverifikasi atau tidak benar. “Konten ini sebenarnya belum diverifikasi, apakah Anda yakin ingin membagikannya,” kata dia.
“Jadi ada banyak fitur yang kami buat di dalam aplikasi ini untuk mendorong pengguna kami berpikir sebelum membagikannya,” ujar Teresa.
Tak sampai di sana, Ia menegaskan bekerja sama dengan organisasi lokal hingga pemerintah untuk memberi edukasi terkait literasi digital dan keuangan ke masyarakat yang lebih luas.
Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sebanyak 72,6% warganet menjadikan media sosial sebagai sumber informasi selama tiga tahun berturut-turut.
Intinya, warga Indonesia lebih percaya media sosial ketimbang media massa atau pers pada 2022 atau jelang Pemilu 2024, hal ini dikhawatirkan hoaks semakin merebak.
Itu berdasarkan survei terhadap 10 ribu responden selama Agustus - September 2022. Tingkat toleransi kesalahan 0,98%.
“Media sosial dipercaya untuk sumber berita ketimbang situs pemerintah dan media massa,” kata Donny dalam acara Peluncuran Status Literasi Digital Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (1/2).
“Ini pekerjaan rumah besar. Kita harus lebih waspada pada 2023 – 2024 menjelang Pemilu,” ujar dia.
Meski menjadikan media sosial sebagai sumber informasi, warga Indonesia tetap lebih percaya informasi yang disampaikan oleh pers melalui televisi.
Warganet juga menilai Facebook menjadi sarang hoaks, meski menjadikan media sosial sebagai sumber informasi. Netizen juga menilai, berita online merupakan sarang hoaks.
“Facebook merupakan media sosial yang dominan dalam menyajikan informasi hoaks. Namun proporsinya turun secara signifikan dari 71,9% pada 2020 menjadi 55,9% tahun lalu,” demikian dikutip dari laporan.
Di sisi lain, berita online mengalami kenaikan persepsi dalam menyajikan isu hoaks yakni dari 10,7% pada 2020 menjadi 16% tahun lalu.