Pendanaan Seret dan Fokus Profit, Startup SuperApp Masih Jadi Tren?

Katadata
Diskusi Katadata Forum dengan tema "Transformasi Indonesia Menuju Raksasa Ekonomi Digital" di Jakarta, pada 2018
Penulis: Lenny Septiani
31/7/2023, 15.06 WIB

Startup seperti Gojek, Grab, Bukalapak masif membangun aplikasi super alias superapps sebelum pandemi corona. Apakah tren ini masih berlanjut di Indonesia?

Traveloka yang sebelumnya menambahkan sejumlah layanan, kini secara bertahap menghapus beberapa fitur. Unicorn ini meluncurkan layanan logistik on-demand Traveloka Send, pesan-antar makanan Traveloka Eats, dan grocery Traveloka Mart sebagai upaya diversifikasi layanan di tengah pandemi Covid-19.

Namun kemudian menutup Traveloka Mart pada Agustus tahun lalu. Lalu menghapus fitur Traveloka Send dan Traveloka Eats pada Oktober 2022.

Tech In Asia melaporkan, perwakilan Traveloka mengatakan bahwa penutupan ini menjadi bagian dari strategi dan prioritas bisnis perusahaan.

Tahun ini, Traveloka menutup layanan investasi emas. Kemudian bakal menghapus fitur Tagihan & Isi Ulang pada Oktober.

Ketua Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia atau Amvesindo Eddi Danusaputro mengatakan, selama space smartphone masih menjadi perhitungan seseorang dalam membeli gawai, maka tren superapp akan terus muncul.

“Di Asia di mana storage space menjadi salah satu pertimbangan utama dalam membeli handphone atau HP, maka superapp bisa tumbuh subur,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, Senin (31/7).

Sementara di ‘negara Barat’ seperti Amerika dan Eropa, para pengguna lebih senang jika data pribadi mereka tidak dikuasai oleh satu perusahaan atau superapp.

Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani juga menilai, superapp akan tetap menjadi aset untuk disinergikan dengan berbagai macam layanan yang bersinggungan atau relevan terhadap tipe pelanggan.

“Namun strategi membuat superapp lalu bisa menciptakan layanan yang langsung menguntungkan, itu belum tentu,” kata Edward kepada Katadata.co.id.

“Jadi model bisnis akan tetap menentukan seberapa strategis superapp tersebut bisa menghasilkan pelanggan loyal dan menjustifikasi life time value atau LTV dari setiap pelanggan,” ujar Edward.

“CAC atau customer acquisition cost menjadi penentu dalam menyesuaikan dana marketing dengan LTV dari setiap pelanggan tersebut,” Edward menambahkan.

Besaran CAC memberikan keyakinan apakah startup superapp maupun unicorn dan decacorn bisa mempertahankan posisi dengan didukung rasio finansial yang mumpuni dan sesuai rasio di capital market.

Sementara itu, pendiri sekaligus mitra umum firma modal ventura Openspace Ventures Hian Goh mengatakan, startup Asia Tenggara perlu berhati-hati dalam diversifikasi usaha. Selain itu, tidak memaksakan diri dengan mencoba untuk meniru superapp seperti WeChat.

Startup harus ‘mendapatkan hak’ untuk berekspansi ke kategori bisnis baru setelah menciptakan bisnis inti yang solid, bukan mengejarnya sebagai model bisnis sejak hari pertama,” kata Hian Gih dikutip dari SCMP, pada Maret.

Ia pun bercerita bahwa seorang investor awal Gojek mencatat bahwa langkah ekspansi tidak direncanakan sejak hari pertama. “Ketika kami memulai dengan Gojek, ambisinya kecil yakni menjadi aplikasi transportasi online,” kata Goh.

“Saya selalu mendengar orang mengatakan 'kami akan membangun aplikasi super' tetapi Gojek tidak memulai seperti itu. Jadi menurut saya itu adalah fungsi kebutuhan, dan kami harus sangat berhati-hati saat mencoba menjadi revisionis dalam memahami bagaimana aplikasi super muncul,” Goh menambahkan.

CFO Vietnam MoMo Manisha Shah mengatakan, perusahaannya hanya berhasil berkembang dari dompet digital menjadi platform superapp yang mencakup e-commerce, perjalanan, solusi keuangan, dan layanan lainnya setelah membangun kepercayaan dari bisnis awal yakni transfer uang.

“Kami membutuhkan waktu sekitar enam tahun untuk mendapatkan satu juta pengguna pertama. Dalam lima tahun berikutnya kami menambahkan 30 juta pengguna,” ujar Manisha Shah.

Reporter: Lenny Septiani