Prabowo Siapkan Perpres, MTI Sebut Ojol Seharusnya Hanya Angkut Barang

Katadata/Fauza Syahputra
Pengemudi ojek online (ojol) membawa penumpang di Jalan Pegangsaan Timur, Cikini, Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Penulis: Kamila Meilina
4/11/2025, 17.18 WIB

Presiden Prabowo Subianto menyiapkan Peraturan Presiden alias Perpres taksi dan ojek online. Namun Masyarakat Transportasi Indonesia atau MTI menyoroti tingginya angka kecelakaan kendaraan roda dua, seperti ojol.

Wakil Ketua MTI Djoko Setijowarno mengusulkan agar pemerintah mengarahkan fungsi ojol sebagai angkutan barang dan logistik mikro, bukan penumpang.

“Jika sebagai angkutan barang, ini akan meningkatkan keselamatan lalu lintas, menjaga efisiensi ruang jalan di perkotaan dan memberi nilai tambah ekonomi karena motor berkontribusi pada rantai pasok logistik kota,” kata Djoko dalam keterangan pers, Selasa (4/11).

Selama ini, ojol di Indonesia menyediakan layanan pengantaran orang, barang, dan makanan.

Djoko menyebutkan lebih dari 75% korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia merupakan pengendara kendaraan roda dua. Secara fisik, sepeda motor tidak memiliki perlindungan struktural.

Secara sosial, pengemudi, terutama mitra ojek ojol, dinilai hidup di bawah tekanan algoritma dan insentif waktu yang menuntut kecepatan. “Semakin cepat, semakin untung. Akan tetapi semakin cepat pula risikonya,” kata Djoko.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau UU LLAJ tidak mengategorikan kendaraan roda dua sebagai transportasi umum. Namun kehadiran ojol diakui melalui Peraturan Menteri Perhubungan alias Permenhub pada 2019 yang mengatur standar keselamatan dan perlindungan pengguna sepeda motor untuk kepentingan masyarakat.

Ia juga menyoroti emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh sepeda motor. Ia mencatat ada 120 juta lebih kendaraan roda dua di Indonesia.

Di banyak kota, sepeda motor mampu menembus kemacetan, menjangkau gang sempit, dan mengantar dari pintu ke pintu. Namun di balik kenyamanan itu, Djoko menyoroti adanya paradoks besar yakni sepeda motor adalah moda antara, bukan tujuan akhir peradaban transportasi.

Jepang, Korea Selatan, dan Cina dulu padat sepeda motor. Namun negara-negara ini berhasil menurunkan ketergantungan setelah membangun sistem kereta dan bus massal.

“Hasilnya bukan hanya mobilitas lancar, tetapi juga kota yang lebih manusiawi, udara lebih bersih, dan produktivitas meningkat,” ujar Djoko. “Motor hanyalah moda transisi, bukan simbol kemajuan. Negara maju bukan yang memiliki motor terbanyak, tetapi yang warganya paling sedikit perlu motor untuk hidup produktif.”

Menurut dia, arah pembangunan transportasi berkelanjutan seharusnya mengalihkan mobilitas dari kendaraan pribadi menuju angkutan umum massal. Negara-negara yang berhasil keluar dari kemacetan dan polusi selalu menempuh jalur serupa dan memperkuat sistem publik, bukan memperbanyak kendaraan pribadi.

“Sayangnya, Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya. Motor yang semula solusi darurat, kini menjadi ketergantungan massal,” kata Djoko.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Kamila Meilina